Wednesday, September 28, 2011

Sejarah Perkembangan Perusahaan Toshiba


Toshiba adalah perusahaan Jepang yang memproduksi dan memasarkan berbagai peralatan listrik dan produk elektronik yang canggih, yang berkantor pusat di Tokyo, Jepang. Toshiba dinilai sebagai perusahaan no 7 dunia untuk produsen terintegrasi untuk peralatan listrik, elektronik dan sebagai pembuat chip. Toshiba Semikonduktor termasuk 20 besar pemimpin penjualan semikonduktor di dunia.

Sejarah Toshiba
Toshiba dibentuk pada tahun 1939, merupakan hasil merger dari dua perusahaan. Tokyo Denki adalah perusahaan yang bergerak dibidang consumer goods dan perusahaan mesin Shibaura Seisakusho. Mengambil beberapa huruf didepan dari masing-masing perusahaan “TO” dan “SHIBa” maka lahirlah merek Toshiba.
Pada tahun 1984 perusahaan itu resmi berubah menjadi Toshiba Corporation. Grup ini makin kuat melalui pertumbuhan internal dan melalui akuisisi perusahaan rekayasa alat berat dan perusahaan industri primer pada 1940-an dan 1950-an. Kemudian pada 1970-an dan seterusnya, anak perusahaan mulai didirikan, yaitu: grup Toshiba Lighting & Teknologi (1989), Toshiba Carrier Corporation (1999), Toshiba Elevator & Building System Corp (2001), Toshiba Solutions Corp (2003), Toshiba Medical Systems Corp (2003) dan Toshiba Materials Co Ltd (2003).

Toshiba Corporation adalah salah satu perusahaan diversifikasi produsen dan pemasar produk digital, perangkat elektronik dan komponen, sistem infrastruktur sosial dan Home appliances. Sebagai pendiri dan inovator terkemuka dalam komputasi portabel dan produk-produk jaringan, Toshiba mulai memasarkan notebook, PC, dan PC server untuk rumah, kantor dan pengguna mobile. Toshiba Qosmio Notebook PC memimpin jalan dalam konvergensi komputasi dan kemampuan, menawarkan konsumen yang lengkap solusi hiburan pribadi. Sementara itu, seri “Tipis dan Ringan” membawa tingkat mobilitas tinggi dan daya tahan untuk notebook PC untuk penggunaan bisnis di era ini.

Toshiba memproduksi semua jenis laptop, dari model Libretto yang lucu dan ultra portabel sampai model multimedia Qosmio keren. Laptop Toshiba juga populer di Amerika dan Eropa. Apakah pengguna mencari pengganti desktop, laptop untuk mahasiswa atau laptop untuk game, akan ada sesuatu yang cocok bagi mereka di antara rangkaian yang tak terhitung jumlahnya seperti notebook Toshiba Libretto, Portege, Qosmio, Satellite dan Portege.

Berbagai Model Laptop Toshiba yang ada dipasaran :


    * Toshiba Satellite: Notebook Toshiba Satellite
Jika Anda menginginkan produk berkualitas, berteknologi tinggi, dengan harga yang terjangkau, desain yang stylish, dan kinerja yang solid Toshiba Satellite adalah jawabannya. Laptop ini dapat menjalankan aplikasi bisnis paling kompleks, menyimpan dokumen yang besar, mempunyai file media digital dan software produktivitas.


    * Toshiba Tecra: Laptop Toshiba Tecra
 Laptop ini memiliki keuntungan tambahan yaitu mobilitas dengan daya tahan yang dapat menggantikan komputer desktop high-end. Laptop Toshiba Tecra adalah notebook  untuk pebisnis profesional, handal, dengan daya tahan tinggi yang saat ini sudah menjadi tuntutan bisnia.


    * Toshiba Qosmio: Laptop Toshiba Qosmio

Laptop ini mempunyai berat rata-rata sekitar 4,4kg.  Para gamer, programer yang membutuhkan teknologi tinggi, dan editor foto dan video yang memerlukan mobilitas dalam bekerja sangat memerlukan laptop ini.


    * Toshiba Portege: Laptop Toshiba Portege
Laptop ini memiliki design ringan dan stylish. Laptop ini dapat menjadi  teman yang sempurna bagi mereka yang sering mobile untuk tujuan bisnis. Dengan tampilan menakjubkan untuk bekerja dan bermain,.cocok dimiliki Anda para gamer mania.

Untuk melihat Kelebihan dari Laptop Toshiba klik di sini.
Untuk melihat Kelemahan dari Laptop Toshiba klik di sini.
Untuk melihat Harga Laptop Toshiba klik di sini.



Sumber :

Read More

Resensi Buku: The Reconnection: Menyembuhkan Orang Lain, Menyembuhkan Diri Anda Sendiri


Spesifikasi Buku
Judul : The Reconnection: Menyembuhkan Orang Lain, Menyembuhkan Diri Anda Sendiri
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Pengarang : Dr. Eric Pearl
Jumlah Halaman : 301 halaman
Ukuran : 150 x 230 mm
Tahun Terbit : Februari 2008
Genre : Pengembangan Diri, Pengobatan
Bahasa : Indonesia
ISBN : 9789792235340
Pratinjau : di Google Book (klik di sini)







Resensi Buku
      Buku ini menceritakan pengalaman Dr. Eric Pearl dalam perjalanannya mendapatkan kemampuannya sebagai medium penyembuh. Dari pengalaman mati suri ibunya saat dia dilahirkan, saat dia beranjak dewasa, saat dia memutuskan untuk menjadi seorang Chiropractor, sampai dia menemukan kejadian-kejadian penyembuhan yang tidak biasa saat dia menjalani profesi nya sebagai Chiropractor.
      Buku ini mengenalkan kepada kita tentang Frekuensi baru yang dapat dimanfaatkan untuk menyembuhkan diri sendiri, maupun menyembuhkan orang lain. Di dalam buku ini pun disertai cara-cara yang digunakan oleh Dr. Pearl untuk memanfaatkan Frekuensi tersebut.
     Buku ini juga menceritakan kisah sukses nya dalam berbagai penyembuhan, dari penyakit yang ringan, sampai penyakit yang susah disembuhkan seperti AIDS. Memaparkan berbagai persepsi keliru orang tentang Pengobatan Alternatif yang telah beredar di masyarakat.
     Frekuensi Penyembuhan "baru" yang dipaparkan oleh Dr. Pearl melampaui sekedar "Teknik" dan membawa pembaca ke tahap yang sebelumnya tidak pernah diakses oleh siapa pun, di mana pun.


"Buku ini menawarkan wawasan yang menarik dan baru tentang dinamika penyembuhan."- DEEPAK CHOPRA, M.D.


"Reconnecting to Source, atau terhubung kembali dengan sumber, adalah rahasia semua penyembuhan. Eric menjelaskan cara melakukannya dengan sama baiknya seperti penulis lain yang bukunya pernah saya baca."-DR. WAYNE DYER



 Lihat situs resmi The Reconnectionhttp://www.thereconnection.com/
Read More

Tuesday, September 27, 2011

Apa Itu Social Marketing (Pemasaran Sosial) ?

Menurut  Nedra Kline Weinrech, Teknik pemasaran saat ini tidak lagi memfokus utamakan kepada keuntungan yang diperoleh dari penjualan tersebut,  melainkan memfokuskan kepada apa yang konsumen butuhkan dan inginkan dari produk yang diproduksi oleh produsen. Itulah yang dinamakan dengan Pemasaran Sosial.
Pemasaran sosiasl untuk pertamakali dijadikan suatu disiplin pada tahun 1970 oleh Philip Kotler dan Gerald Zaltman. Mereka menyadari bahwa prinsip-prinsip pemasaran yang digunakan untuk menjual produk kepada konsumen dapat pula digunakan untuk menjual ide, sikap, dan prilaku. Kotler dan Andreasen mendefinisikan Pemasaran Sosial sebagai berikut; “berbeda dari daerah pemasaran yang lain, yang hanya menekankan pada tujuan pemasar dan organisasinya. Pemasaran Sosial berusaha untuk mempengaruhi prilaku social tidak untuk keuntungan pemasar, tapi untuk menguntungkan konsumen dan masyarakat umum”.
Seperti Pemasaran Komersil, Fokus utamanya adalah pada Konsumen. Yaitu lebih mempelajari apa yang konsumen butuhkan, daripada hanya membujuk mereka untuk membeli apa yang kita produksi. Pemasaran itu membicarakan tentang Konsumen, bukan produk. Proses perencanaan berfokus pada konsumen dengan perhitungan terhadap unsure-unsur “Marketing Mix”. Hal ini mengacu pada keputusan tentang 1) konsepsi Produk, 2) Harga, 3) distribusi (Place), dan 4) Promosi. Ini sering disebut sebagai "Empat Filosofi Pemsaran”.
1.   Produk
Produk tidak hanya berupa barang fisik saja, namun juga berupa Jasa atau Pelayanan. Produk yang berupa barang fisik, sebagai contoh adalah Kondom. Sedangkan Produk dalam bentuk Jasa atau Pelayanan, seperti Fasilitas Umum.
2.   Harga
Harga adalah apa yang harus konsumen lakukan untuk mendapatkan produk dari pemasaran social tersebut. Dalam pengaturan Harga, ada banyak masalah yang harus dipertimbangkan. Jika harga produk tersebut terlalu rendah, atau bahkan gratis, konsumen cenderung menganggap kualitasnya rendah. Namun, jika harga terlalu tinggi, konsumen mungkin tidak akan dapat memperolehnya.
3.   Tempat
Tempat adalah cara konsumen untuk mendapatkan produk tersebut. Dalam bentuk yang “nyata”, tempat bias berupa gudang, atau Pasar.  Namun juga produk bisa didapatkan tidak melalui tempat yang “nyata”, seperti melalui pembelian melalui Online Shop. Untuk produk yang berupa jasa, seperti kesehatan, produk bisa diproleh dari pelayanan Dokter melalui Rumah Sakit.
4.   Promosi
Promosi adalah suatu bentuk integrasi antara iklan, hubungan masyarakat, promosi, advokasi media, penjualan personal, dan kendaraan hiburan, yang tujuannya untuk mengenalkan produk kepada konsumen.
            Masyarakat itu sangat luas dan banyak jumlahnya, agar dapat sukses dalam Pemasaran, pemasaran tersebut haruslah tepat sasaran. Kita harus tau siapa konsumen yang kita tuju. Selain memperhatikan sasarannya, kita juga harus memperhatikan “Kemitraan”, atau rekan untuk bekerja sama. Mitra ini bisa berupa organisasi-organisasi tujuan yang serupa dengan kita. Karena dalam proses pemasaran social kita akan menghadapi banyak masalah dan kita tentu nya tidak dapat berdiri sendiri. Harus ada orang/organisasi lain yang membantu kita.
Selain kemitraan, ada pula “Kebijakan” yang harus kita perhatikan. Pemasaran Sosial mampu mempengaruhi atau memotivasi perubahan prilaku individu. Namun sulit untuk mempertahankanya dalam jangka waktu yang panjang. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan untuk mempertahankan perubahan prilaku tersebut. Kebijakan tersebut bisa dilakukan dengan Advokasi media.
Dan yang terakhir yang harus diperhatikan adalah “Purse Strings”. Karena Pemasaran Sosial berkembang dari dana yang disediakan oleh yayasan, sumbangan pemerintah, dan lain-lain, maka kita harus menjalin hubungan yang baik dengan penyedia dana tersebut. Karena dari merekalah kita mendapatkan uang untuk menjalankan program Pemasaran Sosial.

Sumber :
What is Social Marketing? by Nedra Kline Weinreich (Bahasa Inggris)
What is Social Marketing? by Nedra Kline Weinreich (Bahasa Indonesia)
Read More

"1000 Ekspresi Wajah Manusia"

      Pada kesempatan kali ini saya menulis tentang pengalaman saya dengan dunia Photography. Saat itu saya hanya meminjam kamera teman saya yang kebetulan dibawanya saat latihan teater alam di kota saya. Waktu itu saya menggunakan kamera NIKON D5000. Yah lumayan lah untuk pemula. Itu saat pertama kali saya menggunakan kamera profesional. Memang dari sebelumnya minat saya akan Photography cukup besar sejak saya masih kecil. Saya ter obsesi untuk memfoto semua yang ada di hadapan saya. Nah kebetulan sekali saat itu ada salah satu adik kelas saya waktu SMA yang membawa kamera tersebut. Hmm, kesempatan ada harus dimanfaatkan, hhe. Saya meminjam kamera tersebut, yang sebenarnya untuk dokumentasi kegiatan saja. Dan ini lah hasil perdana saya dengan Photography, memang sih masih amatir. Namanya juga pemula. :)

Model : Andi
Model : Rahmat


Model : Eko, Mela, Ayu
Model : Henni, Andi
Model : Ayu
Model : Henni, Andi

      Yah itulah hasil jepretan pemula. Mungkin di antara pembaca ada yang bertanya (atau mungkin tidak ada yang peduli) "kenapa semuanya adalah ekspresi orang?". Sebenarnya saya memiliki cita-cita ingin menulis buku dengan judul "1000 Ekspresi Wajah Manusia" yang berisi foto-foto ekspresi wajah manusia disertai dengan tulisan mengenai mengapa/apa yang menyebabkan ekspresi tersebut bisa terjadi. Kalau ditanya mengapa, mungkin jawabnya karena saya suka melihat ekspresi wajah manusia (mungkin juga karena saya orang sosiologi yang suka mengamati manusia), terutama pada ekspresi senyuman. Menurut saya, senyuman yang asli dan tidak dibuat-buat merupakan pemandangan yang sangat indah. Dan bahkan bisa membangkitkan semangat bagi yang melihatnya.
       Begitulah sekiranya cita-cita saya yang terdengar terlalu muluk untuk didambakan. Tapi, apa salahnya buat dicoba kan?. Do'akan saja semoga saya dapat mencapai nya. Amin. Terima kasih bagi yang telah membaca curahan hati saya ini. Semoga mendapatkan manfaatnya. :)
Read More

Sunday, September 25, 2011

Disleksia: Penyebab Masalah Belajar Pada Anak

      Setiap anak-anak memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam memproses informasi dan pelajaran. Ada yang bisa memproses dengan mudah, dan ada yang mengalami masalah yang mungkin cukup besar untuk dilaluinya di sekolah formal yang umum. Masalah-masalah yang terjadi tersebut sering kali tidak disadari oleh orang tua maupun guru-guru mereka di sekolah. Disleksia adalah salah satunya.

Pengertian Disleksia
      Banyak yang tidak mengerti atau bahkan belum mengenal apa itu Disleksia. Baiklah, kita mulai dari definisinya Disleksia (Inggtis: dyslexia) adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada orang tersebut dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis.
      Kata disleksia berasal dari bahasa Yunani δυς- dys- ("kesulitan untuk") dan λέξις lexis ("huruf" atau "leksikal"). Pada umumnya keterbatasan ini hanya ditujukan pada kesulitan seseorang dalam membaca dan menulis, akan tetapi tidak terbatas dalam perkembangan kemampuan standar yang lain seperti kecerdasan, kemampuan menganalisa dan juga daya sensorik pada indera perasa.
      Terminologi disleksia juga digunakan untuk merujuk kepada kehilangan kemampuan membaca pada seseorang dikarenakan akibat kerusakan pada otak. Disleksia pada tipe ini sering disebut sebagai Aleksia. Selain memengaruhi kemampuan membaca dan menulis, disleksia juga ditengarai juga memengaruhi kemampuan berbicara pada beberapa pengidapnya.
      Penderita disleksia secara fisik tidak akan terlihat sebagai penderita. Disleksia tidak hanya terbatas pada ketidakmampuan seseorang untuk menyusun atau membaca kalimat dalam urutan terbalik tetapi juga dalam berbagai macam urutan, termasuk dari atas ke bawah, kiri dan kanan, dan sulit menerima perintah yang seharusnya dilanjutkan ke memori pada otak. Hal ini yang sering menyebabkan penderita disleksia dianggap tidak konsentrasi dalam beberapa hal. Dalam kasus lain, ditemukan pula bahwa penderita tidak dapat menjawab pertanyaan yang seperti uraian, panjang lebar.
      Para peneliti menemukan disfungsi ini disebabkan oleh kondisi dari biokimia otak yang tidak stabil dan juga dalam beberapa hal akibat bawaan keturunan dari orang tua.

Tipe Disleksia
      Ada dua tipe disleksia, yaitu developmental dyslexsia (bawaan sejak lahir) dan aquired dyslexsiaDevelopmental dyslexsia diderita sepanjang hidup pasien dan biasanya bersifat genetik. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penyakit ini berkaitan dengan disfungsi daerah abu-abu pada otak. Disfungsi tersebut berhubungan dengan perubahan konektivitas di area fonologis (membaca). Beberapa tanda-tanda awal disleksia bawaan adalah telat berbicara, artikulasi tidak jelas dan terbalik-balik, kesulitan mempelajari bentuk dan bunyi huruf-huruf, bingung antara konsep ruang dan waktu, serta kesulitan mencerna instruksi verbal, cepat, dan berurutan. Pada usia sekolah, umumnya penderita disleksia dapat mengalami keuslitan menggabungkan huruf menjadi kata, kesulitan membaca, kesulitan memegang alat tulis dengan baik, dan kesulitan dalam menerima. (didapat karena gangguan atau perubahan cara otak kiri membaca).

Masalah yang dialami Penderita Disleksia 
      Penderita Disleksia mengalami berbagai macam masalah yang dialaminya. Seperti, susah berkonsentrasi dalam belajar, daya ingat yang cenderung pendek (cepat lupa dengan instruksi yang diberikan), tidak bisa mengikuti prosedur dalam pengorganisasian, misalnya, memakai sepatu tetapi lupa memakai kaus kaki. 
      Masalah lainnya, kesulitan dalam penyusunan atau pengurutan, entah itu hari, angka, atau huruf.
Secara lebih detail, seperti dikutip dari www.dyslexia-indonesia.org, penyandang disleksia biasanya mengalami masalah-masalah, seperti :
  1. Masalah fonologi: Yang dimaksud masalah fonologi adalah hubungan sistematik antara huruf dan bunyi. Misalnya mereka mengalami kesulitan membedakan ”paku” dengan ”palu”; atau mereka keliru memahami kata-kata yang mempunyai bunyi hampir sama, misalnya ”lima puluh” dengan ”lima belas”. Kesulitan ini tidak disebabkan masalah pendengaran, tetapi berkaitan dengan proses pengolahan input di dalam otak.
  2. Masalah mengingat perkataan: Kebanyakan anak disleksia mempunyai level kecerdasan normal atau di atas normal. Namun, mereka mempunyai kesulitan mengingat perkataan. Mereka mungkin sulit menyebutkan nama teman-temannya dan memilih untuk memanggilnya dengan istilah “temanku di sekolah” atau “temanku yang laki-laki itu”. Mereka mungkin dapat menjelaskan suatu cerita, tetapi tidak dapat mengingat jawaban untuk pertanyaan yang sederhana.
  3. Masalah penyusunan yang sistematis atau berurut: Anak disleksia mengalami kesulitan menyusun sesuatu secara berurutan misalnya susunan bulan dalam setahun, hari dalam seminggu, atau susunan huruf dan angka. Mereka sering ”lupa” susunan aktivitas yang sudah direncanakan sebelumnya, misalnya lupa apakah setelah pulang sekolah langsung pulang ke rumah atau langsung pergi ke tempat latihan sepak bola. Padahal, orangtua sudah mengingatkannya bahkan mungkin hal itu sudah pula ditulis dalam agenda kegiatannya. Mereka juga mengalami kesulitan yang berhubungan dengan perkiraan terhadap waktu. Misalnya mereka mengalami kesulitan memahami instruksi seperti ini: ”Waktu yang disediakan untuk ulangan adalah 45 menit. Sekarang pukul 08.00. Maka 15 menit sebelum waktu berakhir, Ibu Guru akan mengetuk meja satu kali”. Kadang kala mereka pun ”bingung” dengan perhitungan uang yang sederhana, misalnya mereka tidak yakin apakah uangnya cukup untuk membeli sepotong kue atau tidak.
  4. Masalah ingatan jangka pendek: Anak disleksia mengalami kesulitan memahami instruksi yang panjang dalam satu waktu yang pendek. Misalnya ibu menyuruh anak untuk “Simpan tas di kamarmu di lantai atas, ganti pakaian, cuci kaki dan tangan, lalu turun ke bawah lagi untuk makan siang bersama ibu, tapi jangan lupa bawa serta buku PR Matematikanya, ya”, maka kemungkinan besar anak disleksia tidak melakukan seluruh instruksi tersebut dengan sempurna karena tidak mampu mengingat seluruh perkataan ibunya.
  5. Masalah pemahaman sintaks: Anak disleksia sering mengalami kebingungan dalam memahami tata bahasa, terutama jika dalam waktu yang bersamaan mereka menggunakan dua atau lebih bahasa yang mempunyai tata bahasa yang berbeda. Anak disleksia mengalami masalah dengan bahasa keduanya apabila pengaturan tata bahasanya berbeda daripada bahasa pertama. Misalnya dalam bahasa Indonesia dikenal susunan diterangkan–menerangkan (contoh: tas merah). Namun, dalam bahasa Inggris dikenal susunan menerangkan-diterangkan (contoh: red bag).
      Pada orang yang mengalami dyslexia, maka kata-kata yang sederhana pun akan menjadi susah untuk dibaca, bahkan bila dilihat beberapa kali. Kata-kata yang terlihat juga dapat bercampur dengan kata-kata lain atau menjadi keliru dibaca, misalnya saja kata “nakal” menjadi “kanal” atau “dia” menjadi “adi”, dan huruf-huruf menjadi satu seperti tidak ada spasi. Berikut contoh kalimat yang mungkin dilihat oleh penderita dyslexia :
Kat akata tid akter pis ahse carat epat

       Bagi yang mengalami dyslexia, kadang susah untuk mengingat sesuatu yang mereka baca, kadang akan menjadi lebih mudah bagi mereka untuk mengingat apabila informasi tersebut dibacakan & didengar oleh mereka.

Penyebab Disleksia
     Ada beberapa tipe dyslexia yang dapat mempengaruhi kemampuan mengeja & membaca beserta penyebabnya, seperti berikut ini yang medicastore ambil dari medicinenet.com .
  • Trauma dyslexia
    Biasanya terjadi akibat adanya trauma atau luka pada bagian otak yang mengontrol cara untuk membaca & menulis.
  • Dyslexia primer
    Dyslexia ini disebabkan karena tidak berfungsinya bagian otak kiri (cerebral cortex) & tidak berubah karena usia. Orang yang mengalami jenis dyslexia ini sangat jarang bisa membaca dengan lancar, bahkan hingga dewasa. Dyslexia primer ini dapat diturunkan secara genetik & biasanya lebih banyak dialami oleh pria daripada wanita.
  • Dyslexia sekunder
    Dyslexia jenis ini disebabkan oleh pembentukan hormon yang kurang sempurna pada saat perkembangan awal janin. Dyslexia sekunder ini akan menghilang seiring bertambahnya usia anak, serta lebih sering terjadi juga pada anak laki-laki.
Tokoh-Tokoh Terkenal yang Mengalami Disleksia

        Anak-anak Disleksia bukanlah anak-anak yang bodoh dan tidak mampu bersaing. Banyak anak-anak Disleksia yang mampu memjadi sangat terkenal, bahkan para penemu-penemu terkenal di dunia juga merupakan penderita Disleksia. Berikut Tokoh-tokoh terkenal  dunia yang mengalami Disleksia.
  1. Albert Einstein -
    Dia tidak bisa berbicara sampai usia empat. Dia tidak bisa membaca sampai ia berusia sembilan tahun.  Gurunya menganggapnya lambat, tidak ramah dan pemimpi. Ia gagal dalam ujian masuk ke perguruan tinggi tapi akhirnya lulus setelah tahun tambahan persiapan. Dia kehilangan tiga posisi pengajaran dan kemudian menjadi seorang pegawai patena. Namus sekarang dia dikenal dengan orang ter-Jenius di dunia dengan Teori Relativitas nya. 
  2. Walt Disney -
    Dia dipecat dari Kansas City New Paper karena dianggap tidak kreatif, dan dia dicap sebagai anak yang lamban. Namun sekarang dia dikenal sebagai pendiri The Walt Disney Company.
  3. Thomas Alfa Edison -
    Dia dicap sakit jiwa oleh gurunya. Kemudian dia diajar sendiri oleh Ibu nya. Sekarang dia terkenal sebagai penemu Bola Lampu yang menjadi sangat berharga bagi peradaban manusia.
  4. Woodrow Wilson -
    Ia mengalami masalah besar dalam membaca, bahkan kenyataannya, dia tidak bisa membaca seumur hidupnya. Meskipun begitu, dia sangat sukses dalam karir Politiknya.
  5. Tom Cruise -
    Dia sangan sukses dalam karir di dunia hiburan meskipun dia belajar hanya dengan mendengarkan rekaman atau tape.

Masih banyak lagi penderita Disleksia yang menjadi terkenal dan sukses dalam karir nya dan tidak terhitung jumlahnya.

Cara Mengetahui Disleksia Pada Anak
       Kita dapat menegtahui apakah anak tersebut mengalamai Disleksia dengan melihat ciri-cirinya, sebagai berikut (ambil dari kidshealth.org) :
  • Kemampuan membaca yang buruk, meskipun memiliki kepintaran yang normal.
  • Kemampuan mengeja & menulis yang buruk.
  • Mengalami kesulitan untuk menyelesakan tugas atau tes sesuai batas waktunya.
  • Mengalami kesulitan untuk mengingat nama suatu benda.
  • Mengalami kesulitan untuk mengingat daftar tulisan atau nomor telepon.
  • Mengalami kesulitan dalam menentukan arah atau membaca peta.
Jika ada seseorang yang mengalami masalah-masalah tersebut di atas, bukan berarti ia menderita dyslexia. Tetapi sebaiknya dilakukan tes untuk mengetahui kondisinya. Suatu pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya masalah medis, termasuk tes pendengaran & penglihatan. Kemudian psikolog sekolah atau orang yang ahli mengenai pembelajaran dapat memberikan tes terstandar untuk mengukur kemampuan berbicara, membaca, mengeja & menulis.

Cara Penaganan Disleksia
      Di situs mayoclinic.com menyediakan beberapa penangan terhadap anak disleksia, sebagai berikut :
  • Selalu berikan dukungan pada anak. Memiliki dyslexia atau gangguan kesulitan belajar lainnya dapat membuat anak menjadi rendah diri. Berikan selalu dukungan & cinta untuk mendukung setiap kemampuannya.
  • Bicarakan dengan anak. Beritahukan kepada anak apa yang dimaksud dengan dyslexia, bahwa hal tersebut bukanlah suatu kesalahannya. Dengan membantu anak memahami hal tersebut, maka ia akan menjadi lebih mudah untuk mengatasi hal tersebut.
  • Buatlah keadaan rumah menjadi tempat belajar yang mudah untuk anak. Sediakan ruangan yang sepi & terorganisasi sebagai tempat belajar anak. Atur jadwal belajar yang nyaman & berikan dukungan dari seluruh anggota keluarga untuk membantu proses belajar anak.
  • Kerjasama dengan sekolah tempat anak belajar. Sering berkomunikasi dengan guru di sekolahnya untuk memastikan anak tidak tertinggal pelajarnya, bila memungkinkan minta rekaman/salinan bahan pelajaran hari itu untuk dipelajari nanti sepulang sekolah atau les khusus untuk membantunya belajar.
Penutup

      Disleksia memang merupakan hambatan bagi anak dalam menerima pelajaran di sekolah formal. Tetapi, Disleksia bukan merupakan orang yang bodoh. Anak penyandang Disleksia memiliki kemampuan yang luar biasa yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang karena terhalang oleh sistem pendidikan yang sebenarnya tidak cocok dengan anak penyandang Disleksia.      Sebenarnya anak Disleksia memiliki kemampuan berfikir yang imajinatif, yang bahkan tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Mereka mampu membayangkan hal-hal yang tidak pernah dibayangkan oleh orang lain. Seperti, melukis dengan memadukan warna-warna dengan berani.
      Jadi, anak Disleksia merupakan anak yang memiliki kemampuan yang luar biasa asalkan mereka bisa mendapatkan tempat untuk menyalurkan kemampuan mereka.

Sumber :
Read More

Auguste Comte dan Aliran Positivisme

Auguste Comte merupakan sosok filosof besar dan cukup berpengaruh bagi perkembangan technoscience, dimana dia merupakan penggagas dari aliran Positivisme, yaitu sebuah aliran filsafat Barat yang timbul pada abad XIX dan merupakan kelanjutan dari empirisme.
Aliran positivisme ini merupakan aliran produk pemikiran Auguste Comte  yang cukup berpengaruh bagi peradaban manusia. Aliran Positivisme ini kemudian di abad XX dikembangluaskan oleh filosof kelompok Wina dengan alirannya Neo-Positivisme (Positivisme-Logis).[1]
Sejarah telah melukiskan bahwa masalah perolehan pengetahuan menjadi problem aktual yang melahirkan aliran Rasionalisme dan Empirisme yang pada gilirannya telah melahirkan aliran Kritisisme sebagai alternatif dan solusi terhadap pertikaian dua aliran besar tersebut. Disinilah arti penting dari kemunculan Positivisme yang merupakan representasi jawaban berikutnya terhadap problem-problem mendasar tersebut.

Riwayat Hidup Auguste Comte

Auguste Comte merupakan filosof dan warga negara Perancis yang hidup di abad ke-19 setelah revolusi Perancis yang terkenal itu. Ia lahir di Montpellier, Perancis, pada tanggal 19 Januari 1798. Ia belajar di sekolah Politeknik di Paris, tetapi ia dikeluarkan karena ia seorang pendukung Republik, sedangkan sekolahnya justru royalistis.[2]
Auguste Comte menerima dan mengalami secara langsung akibat-akibat negatif secara langsung revolusi tersebut khususnya dibidang sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan. Pengalaman pahit yang dilalui dan dialaminya secara langsung bersama bangsanya itu, memotivaisi dirinya untuk memberikan alternatif dan solusi ilmiah-filosofis dengan mengembangkan epistemologi dan metodologi sebagaimana buah pikirannya itu tercermin di dalam aliran Positivisme. Aliran ini menjadi berkembang dengan subur karena didukung  oleh para elit-ilmiah dan maraknya era industrialisasi saat itu.[3]
Comte bukanlah orang yang menyukai hal-hal yang berbau matematika, tetapi lebih care pada masalah-masalah sosial dan kemanusiaan. Bersama dengan Henry de’Saint Simon,[4]Comte mencoba mengadakan kajian problem-problem sosial yang diakibatkan industrialisasi. Karena ketekunan dan kepiawaiannya dalam bidang-bidang sosial menjadikan Comte sebagai bapak sosiologi.
Meskipun Comte tidak menguraikan secara lebih rinci masalah apa yang menjadi obyek sosiologi, tetapi ia mempunyai asumsi bahwa sosiologi terdiri dari dua hal, yaitu sosial statis dan sosial dinamis. Menurut Comte, sebagai sosial statis sosiologi merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari timbal balik antara lembaga kemasyarakatan. Sedangkan sosial dinamis melihat bagaimana lembaga-lembaga tersebut berkembang.[5] 
Dasar pemikiran Comte diperoleh secara inspiratif dari Saint Simon, Charles Lyell, dan Charles Darwin. Selain dari itu, pemikiran Herbert Spencer mengenai “hukum perkembangan” juga mempengaruhi pemikirannya. Kata “rasional” bagi Comte terkait dengan masalah yang bersifat empirik dan positif yakni pengetahuan riil yang diperoleh melalui observasi (pengalaman indrawi), eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif diperoleh hukum yang sifatnya umum sampai kepada suatu teori. Karena itulah maka bagi positivisme, tuntutan utama adalah pengetahuan faktual yang dialami oleh subjek, sehingga kata rasional bagi Comte menunjuk peran utama dan penting rasio untuk mengolah fakta menjadi pengalaman. Berdasarkan atas pemikiran yang demikian itu, maka sebagai konsekuensinya metode yang dipakai adalah “Induktif-verifikatif”.[6]
Setelah tulisan-tulisannya mulai beredar, Comte menjadi terkenal di seluruh Eropa bahkan melebihi ketenaran “sang majikan” Henry de’Saint Simon. Namun begitu, selama hidup ia tidak pernah diberi kesempatan untuk mengajar di Universitas. Comte juga senantiasa hidup dalam kemiskinan. Hal ini karena pekerjaannya sebagai pengarang dan guru pribadi tidak cukup untuk hidup. Hanya berkat sumbangan-sumbangan pengikutnya, antara lain dari Fiosof Inggris John Stuart Mill, ia bisa makan.[7]
Auguste Comte meninggal pada tahun 1857 dengan meninggalkan karya-karya seperti Cours de Philosophie Possitive, The Sistem of Possitive Polity, The Scientific Labors Necessary for Recognition of Society, dan Subjective Synthesis.[8]

Auguste Comte & Hukum Tiga Tahap

Di antara karya-karyanya Auguste Comte, Cours de Philosphie Possitive dapat dikatakan sebagai masterpiece-nya, karena karya itulah  yang paling pokok dan sistematis. Buku ini dapat juga dikatakan sebagai representasi bentangan aktualisasi dari yang di dalamnya Comte menulis tentang tiga tahapan perkembangan manusia.
Menurut Comte, perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, tahap teologis, kedua, tahap metafisik, ketiga, tahap positif.
1.      Tahap Teologis
Pada tahap teologis ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk selain insani.
Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap. Pertama, tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme). Kedua, tahap ketika orang menurunkan kelompok hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala memiliki dewa sendiri-sendiri (polytheisme).[9] Gejala-gejala “suci” dapat disebut “dewa-dewa”, dan “dewa-dewa” ini dapat diatur dalam suatu sistem, sehingga menjadi politeisme dengan spesialisasi. Ada dewa api, dewa lautan, dewa angin, dan seterusnya.[10] Ketiga, adalah tahapan tertinggi, dimana pada tahap ini orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi (esa), yaitu dalam monotheisme.[11]
Singkatnya, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama). Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.[12]
2.      Tahap Metafisik
Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep “alam”, sebagai asal mula semua gejala.[13]
  1. Tahap Positif
Pada tahap positif, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun metafisik. Ia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari “segala sesuatu” yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu dengan “pengamatan” dan dengan “memakai akalnya”. Pada tahap ini pengertian “menerangkan” berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari tahap positif ini adalah menyusun dan dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum.[14]
Bagi comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi di bidang ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, comte menerangkan bahwa segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikacaukan dengan pemikiran metafisis dan akhirnya dipengaruhi hukum positif. Jelasnya, ketiga tahapan perkembangan umat manusia itu tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku tertentu, akan tetapi juga individu dan ilmu pengetahuan.
Meskipun seluruh ilmu pengetahuan tersebut dalam perkembangannya melalui ketiga macam tahapan tersebut, namun bukan berarti dalam waktu yang bersamaan. Hal demikian dikarenakan segalanya tergantung pada kompleksitas susunan suatu bidang ilmu pengetahuan. Semakin kompleks susunan suatu bidang ilmu pengetahuan tertentu, maka semakin lambat mencapai tahap ketiga.
Lebih jauh Comte berpendapat bahwa pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Di sini, ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongrit. Dengan demikian, maka ada kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu pengetahuan tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif.[15] Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.
Demikianlah pandangan Auguste Comte tentang hukum tiga tahapnya, yang pada intinya menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah.  Dalam hal ini Auguste Comte memberikan analog; manusia muda atau suku-suku primitif pada tahap teologis sehingga dibutuhkan figur dewa-dewa untuk “menerangkan” kenyataan.  Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis.  Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-metode positif dan ilmiah.[16]

Positivisme Auguste Comte

Filsafat positivisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang lahir pada abad ke-19. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte. Adapun yang menjadi  tititk tolak dari pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan “positif” adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.[17]
Sebenarnya, tokoh-tokoh aliran ini sangat banyak. Namun begitu, Auguste Comte dapat dikatakan merupakan tokoh terpenting dari aliran filsafat Positivisme.  Menurut Comte, dan juga para penganut aliran positivisme,  ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Dengan demikian, kaum positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya.[18]
Dengan model pemikiran seperti ini, kemudian Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama.[19] Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.[20]
Selanjutnya, karena agama (Tuhan) tidak bisa dilihat, diukur dan dianalisa serta dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Comte berpendapat bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta. Sebaliknya, sebuah pernyataan akan dianggap salah apabila tidak sesuai dengan data empiris. Contoh misalnya pernyataan bahwa api tidak membakar. Model pemikiran ini dalam epistemologi disebut dengan teori Korespondensi.
Keberadaan (existence) sebagai masalah sentral bagi perolehan pengetahuan, mendapat bentuk khusus bagi Positivisme Comte, yakni sebagai suatu yang jelas dan pasti sesuai dengan makna yang terkandung di dalam kata "positif". Kata nyata (riil) dalam kaitannya dengan positif bagi suatu objek pengetahuan, menunjuk kepada hal yang dapat dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh akal. Adapun yang dapat dijangkau oleh akal dapat dijadikan sebagai objek ilmiah, sedangkan sebaliknya yang tidak dapat dijangkau oleh akal, maka tidak dapat dijadikan sebagai objek ilmiah. Kebenaran bagi Positivisme Comte selalu bersifat riil dan pragmatik artinya nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan, dan nantinya berujung kepada penataan atau penertiban.[21] Oleh karenanya, selanjutnya Comte beranggapan bahwa pengetahuan yang demikian itu tidak bersumber dari otoritas misalnya bersumber dari kitab suci, atau penalaran metafisik (sumber tidak langsung), melainkan bersumber dari pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara indrawi.
Dari model pemikiran tersebut, akhirnya Comte menganggap bahwa garis demarkasi antara sesuatu yang ilmiah dan tidak ilmiah (pseudo science) adalah veriviable, dimana Comte untuk mengklarifikasi suatu pernyataan itu bermakna atau tidak (meaningful dan meaningless), ia melakukan verifikasi terhadap suatu gejala dengan gejala-gejala yang lain untuk sampai kepada kebenaran yang dimaksud.[22] Dan sebagai konsekwensinya, Comte menggunakan metode ilmiah Induktif-Verivikatif, yakni sebuah metode menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat khusus ke umum, kemudian melakukan verifikasi. Selanjutnya Comte juga menggunakan pola operasional metodologis dalam bentuk observasi, eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif
Singkatnya, filsafat Comte  merupakan filsafat yang anti-metafisis, dimana dia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour prevoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala, agar supaya dia dapat meramalkan apa yang akan terjadi.[23]
Filsafat positivisme Comte juga disebut sebagai faham empirisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara “terisolasi”, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori.[24]
Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri abad XVIII, positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik. Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia juga menolak nilai (value).[25]
Apabila dikaitkan dengan ilmu sosial budaya, positivisme Auguste Comte  berpendapat bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami, (b) ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam, (c) berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya.
Sebagai akibat dari pandangan tersebut, maka ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan explanatory sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan adanya “contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis.[26]
Demikianlah beberapa pemikiran Auguste Comte tentang tiga tahapan perkembangan manusia dan juga bagaimana positivisme Auguste Comte memandang sumber ilmu pengetahuan.

Kritik Pemikiran

Positivisme Auguste Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan peradaban dan pemikiran manusia ke dalam tahap teologis, metafisik, dan positivistik. Pada tahap teologis pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama, pada tahap metafisik pemikiran manusia dikuasai oleh filsafat, sedangkan pada tahap positivistik manusia sudah dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tahap ketiga itulah aspek humaniora dikerdilkan ke dalam pemahaman positivistik yang bercorak eksak, terukur, dan berguna. Ilmu-ilmu humaniora baru dapat dikatakan sejajar dengan ilmu-ilmu eksak manakala menerapkan metode positivistik. Di sini mulai terjadi metodolatri, pendewaan terhadap aspek metodologis.
Selain itu, model filsafat positivisme-nya Auguste Comte tampak begitu mengagungkan akal dan panca indera manusia sebagai tolok ukur “kebenaran”. Sebenarnya “kebenaran” sebagai masalah pokok pengetahuan manusia adalah bukan sepebuhnya milik manusia. Akan tetapi hanya merupakan kewajiban manusia untuk berusaha menghampiri dan mendekatinya dengan “cara tertentu”.
Kata cara tertentu merujuk pada pemikiran Karl Popper mengenai “kebenaran” dan sumber diperolehnya. Bagi Popper, ini merupakan tangkapan manusia terhadap objek melalui rasio (akal) dan pengalamannya, namun selalu bersifat tentatif. Artinya kebenaran selalu bersifat sementara yakni harus dihadapkan kepada suatu pengujian yang ketat dan gawat (crucial-test) dengan cara pengujian “trial and error” (proses penyisihan terhadap kesalahan atau kekeliruan) sehingga “kebenaran” se1alu dibuktikan melalui jalur konjektur dan refutasi dengan tetap konsisten berdiri di atas landasan pemikiran Rasionalisme-kritis dan Empirisme-kritis. Atau dengan meminjam dialektika-nya Hegel, sebuah “kebenaran” akan selalu mengalami proses tesis, sintesis, dan anti tesis, dan begitu seterusnya.
Pandangan mengenai “kebenaran” yang demikian itu bukan berarti mengisyaratkan bahwa Penulis tergolong penganut Relativisme, karena menurut hemat Penulis, Relativisme sama sekali tidak mengakui “kebenaran” sebagai milik dan tangkapan manusia terhadap suatu objek. Penulis berkeyakinan bahwa manusia mampu menangkap dan menyimpan “kebenaran” sebagaimana yang diinginkannya serta menggunakannya, namun bagi manusia, “kebenaran” selalu bersifat sementara karena harus selalu terbuka untuk dihadapkan dengan pengujian (falsifikasi). Dan bukanlah verifikasi seperti apa yang diyakini oleh Auguste Comte. Hal demikian karena suatu teori, hukum ilmiah atau hipotesis tidak dapat diteguhkan (diverifikasikan) secara positif, melainkan dapat disangkal (difalsifikasikan)
Jelasnya, untuk menentukan “kebenaran” itu bukan perlakuan verifikasi melainkan melalui proses falsifikasi dimana data-data yang telah diobservasi, dieksperimentasi, dikomparasi dan di generalisasi-induktif berhenti sampai di situ karena telah dianggap benar dan baku (positif), melainkan harus dihadapkan dengan pengujian baru.
DAFTAR PUSTAKA


Maksum, Ali, et.al., Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencari “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004
Wibisono, Koento, Arti Perkembangan menurut Positivisme Comte, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cet. II, 1996
Azis, Ichwan Supandi, Karl Raimund Popper dan Auguste Comte; Suatu Tinjauan Tematik Problem Epistemologi dan Metodologi, Yogyakarta: Jurnal Filsafat, Jilid 35, Nomor 3, Desember 2003,
Soekanto, Soejono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000
Deltgauw, Bernard, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992
Bertens, K., Filsafat Barat Dalam Abad XX, Jilid I,  Jakarta: Gramedia 1981
Hammersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1983
Akhmadi, Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cet. IV, 2001
Biyanto, “Hubungan Agama dan Filsafat di Barat; Sebuah Survei Sejarah Lintas Periode” dalam http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-18.html
Lihat “Fenomenologi, Hermeneutika dan Positivisme” dalam  http://veggy.wetpaint. com/page/Fenomenologi,+Hermeneutika+dan+Positivisme


[1] Ali Maksum, et.al., Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencari “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004, hlm. 77
[2] Koento Wibisono, Arti Perkembangan menurut Positivisme Comte, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cet. II, 1996, hlm 5
[3] Ichwan Supandi Azis, Karl Raimund Popper dan Auguste Comte; Suatu Tinjauan Tematik Problem Epistemologi dan Metodologi, Yogyakarta: Jurnal Filsafat, Desember 2003, Jilid 35, Nomor 3, hlm. 254
[4] Henry de’Saint Simon adalah seorang bangsawan sekaligus salah seorang filosof  termasyhur di Perancis waktu itu dan Auguste Comte pernah menjadi sekretaisnya.
[5] Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 443
[6] Ichwan Supandi Azis, Loc. Cit.
[7] Koento Wibisono, Op. Cit., hlm. 9
[8] Ali Maksum, et.al., Op. Cit. Hlm. 79
[9] Ibid.
[10] Koento Wibisono, Op. Cit., hlm. 27
[11] Ali Maksum, Loc. Cit.
[12] Asmoro Akhmadi, Filsafat Umum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cet. IV, 2001, hlm. 117
[13] Koento Wiisono, Loc. Cit.
[14] Ali Maksum, et.al., Op. Cit. hlm. 80
[15] Bernard Deltgauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, hlm. 67
[17] Asmoro Akhmadi, Op. Cit., hlm. 116
[18] Ali Maksum, et.al., Op. Cit. hlm. 82
[19] Sebagai catatan, pada akhir hidupnya, Auguste Comte bahkan berupaya membangun agama baru tanpa teologi atas dasar filsafat positifnya. “Agama” baru tanpa teologi ini mengagungkan akal dan mendambakan kemanusiaan dengan sumboyan “cinta sebagai prinsip, teratur sebagai basis, dan kemajuan sebagai tujuan.” Dan sebagai istilah ciptaannya yang terkenal adalah altruism, yaitu menganggap bahwa soal utama bagi manusia ialah usaha untuk hidup bagi kepentingan orang lain. Lihat Asmoro Akhmadi, Loc. Cit.
[20] Lihat Biyanto, “Hubungan Agama dan Filsafat di Barat; Sebuah Survei Sejarah Lintas Periode” dalam http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-18.html
[21] Koento Wibisono, Op. Cit., hlm. 38
[22] K. Bertens,  , Filsafat Barat Dalam Abad XX, Jilid I,  Jakarta: Gramedia 1981, hlm. 171
[23] Hammersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 3 et.seq.
[24] Kunto Wibisono, Op. Cit. Hlm. 48
[25] Lihat “Fenomenologi, Hermeneutika dan Positivisme” dalam  http://veggy.wetpaint.com/page
/Fenomenologi, +Hermeneutika+dan+Positivisme
Read More