Thursday, March 1, 2018

Suriah: Neraka di Tahun Kelima


Berawal dari aksi protes lusinan aktivis di pusat kota Damaskus lima tahun silam, konflik di Suriah menjelma menjadi neraka berkepanjangan. Sebuah lembaga penelitian merumuskan kengerian di dataran Syam itu dalam angka.
Tragedi saja tidak cukup buat menggambarkan derita dan nestapa apa yang dialami penduduk Suriah. Sejak perang berkecamuk lima tahun silam, negeri di daratan Syam itu remuk didera teror Islamic State, dijerat keberingasan serdadu Bashar al Assad dan dihujani bom oleh koalisi internasional.
Padahal segalanya berawal penuh harap. Gelombang musim semi Arab yang menyapu seluruh jazirah, dulu juga ikut berjejak di Damaskus untuk meruntuhkan rejim Assad. Demokrasi seakan ada di depan mata. Tapi apa yang kemudian terjadi adalah neraka berkepanjangan yang merenggut lebih dari seperempat juta nyawa manusia. Lebih 11 juta warga terpaksa mengungsi baik ke negara tetangga maupun meluruk ke Eropa dan memicu krisis pengungsi.
Dalam laporannya tahunannya, wadah pemikir Syrian Centre for Policy Research bahkan menyebut angka korban tewas, langsung atau tidak langsung, mencapai 470.000 orang. Sementara PBB mencatat korban luka-luka telah melampaui angka satu juta.
Catatan muram itu bertambah panjang di tahun ke lima konflik. Tingkat harapan hidup yang awalnya berkisar 70,5 tahun, kini jatuh di angka 55,4 tahun. Sekitar 85 persen penduduk kehilangan mata pencaharian dan seperlima angkatan kerja kini mencari uang lewat perang dengan menjadi gerilayawan bayaran, melakukan penculikan atau penjarahan.
Lembaga penelitian Frontier Economics memperkirakan perekonomian Suriah kehilangan sekitar 275 miliar US Dollar potensi pertumbuhan akibat perang. Jika hingga 2020 konflik belum mereda, potensi yang lenyap bahkan mencapai 1,3 triliun US Dollar atau sepuluh kali lipat dari anggaran belanja Indonesia tahun 2016.

Musnahnya jejak peradaban
Namun kerugian tersebut belum seberapa jika dibandingkan dengan hilangnya situs-situs bersejarah. UNESCO mencatat hampir semua situs warisan dunia yang ada di Suriah saat ini telah punah atau mengalami kerusakan berat.
Termasuk diantara yang lenyap adalah kota tua Aleppo dan Bosra, benteng Crac des Chevaliers bekas peninggalan perang salib dan situs kuno Palmyra yang dihancurkan oleh Islamic State.
Penguasa Suriah Bashar al Assad tentunya punya sudut pandang lain menyimak perang saudara di negerinya sendiri. "Semua cerita itu tidak benar. Itu tidak terjadi, melainkan cuma propaganda," tuturnya belum lama ini dalam wawancara dengan media Jerman, ARD.

INILAH AKTOR UTAMA PERANG SURIAH

Bashar al Assad
Presiden Suriah ini bersama rezim di Damaskus adalah penyebab utama pecahnya perang saudara yang dimulai 2011. Rakyat yang tak puas atas kepemimpinannya 4 tahun silam menggelar berbagai aksi protes yang dijawab dengan tembakan peluru tajam. Sumbu peledak perang adalah tewasnya beberapa remaja yang menggambar grafiti anti Assad di tahanan aparat keamanan.

Pemberontak Suriah
Mereka menamakan diri kelompok oposisi. Dalam kenyataanya mereka adalah kelompok militan yang punya berbagai agenda, dan kebetulan punya satu sasaran, yaitu menumbangkan rezim Bashar al Assad. Kelompok paling menonjol adalah Free Syrian Army, serta Front al Nusra yang merupakan cabang al Qaida di Suriah. Akibat perang saudara, 300.000 tewas dan lebih 12 juta warga Suriah mengungsi.

Islamic State (IS)
Walaupun baru muncul awal tahun 2014, IS merupakan kelompok bersenjata paling kuat dan ditakuti. Kelompok Sunni ini didukung pakar militer bekas pasukan elit Saddam Hussein dari Irak. Anggotanya berdatangan dari berbagai negara Eropa. Kebanyakan anak muda, militan, radikal, dan punya keahlian di bidang militer maupun teknologi informatika. IS kini menguasai kawasan luas di Suriah dan Irak.

Arab Saudi
Merupakan negara pendukung kelompok pemberontak Sunni di Suriah. Arab Saudi terutama ingin menumbangkan rezim Assad dan meredam hegemoni penunjang kekuasaanya, yaitu Iran. Mereka sekaligus juga memerangi IS agar tidak semakin kuat. Riyadh punya kepentingan agar Suriah tidak runtuh, yang akan menyeret Libanon dan Irak serta seluruh kawasan ke situasi chaos.

Iran
Sebagai negara pelindung kaum Syiah, Iran mendukung milisi Hisbullah di Libanon yang bertempur membela rezim Al Assad. Iran juga mengirim tentara serta penasehat milternya ke Damaskus. Mula-mula kehadiran Iran tidak dianggap. Tapi perkembangan situasi menyebabkan pemain besar lainnya kini mulai merangkul pemerintah di Teheran untuk solusi krisis Suriah.

Turki
Ankara takut terbentuknya negara Kurdistan di Suriah. Karena itu dengan segala cara hal ini hendak dicegah. Turki juga "melatih" pemberontak Suriah dengan dibantu biaya AS. Presiden Recep Tayyip Erdogan juga berseteru dengan Assad. Selain itu kaum Kurdi di Irak juga makin kuat karena mendapat dukungan Iran. Inilah yang membuat Turki mengerahkan militernya ke perbatasan atau melewatinya.

Amerika Serikat
Keterlibatan Washington di kawasan dimulai 2003 dengan tumbangkan penguasa Irak, Saddam Hussein. Vakum kekuasaan picu runtuhnya Irak dan destabilisasi keamanan hingga ke Suriah. Kondisi ini yang juga ciptakan Islamic State (IS) yang mampu kuasai kawasan luas di Irak dan Suriah. AS juga membiayai pelatihan pemberontak "moderat" dengan dana 500 juta US Dolar, sebagian menyeberang ke Al Qaida.

Rusia
Moskow dikenal sebagai pendukung rezim di Damaskus. Akhir 2015 Rusia memutuskan lancarkan serangan udara terhadap IS. Operasi militer ini memicu kecaman di kalangan NATO. AS dan Turki mengklaim serangan udara Rusia ditujukan ke kelompok pemberontak anti Assad. Insiden penembakan jet Rusia oleh militer Turki makin panaskan situasi.
Penulis: as/ml (dari berbagai sumber)