Kali ini kita coba untuk mengenal golongan Islam lebih jauh dengan memahami bagaimana cara memperkuat masyarakat Islam. Teori ini disarikan dari sebuah hadist Rasulullah yang bisa kita kenal sebagai “Empat Pilar Umat Islam” yang isinya berbeda dengan Empat Pilar Kebangsaan-nya golongan nasionalis. Adapun keempat pilar itu adalah:
“Sabda Rasulullah SAW, tegaknya Negara ditunjang empat pilar. Pertama bi’ilmil ulama (dengan ilmu ulama), kedua bi-adillatil umaro (dengan keadilan para pemimpin/pejabat/pemerintah/penguasa), ketiga bisaqoowatil aghniyaa (peran para aghniya/orang-orang kaya), keempat bidu’aail fuqoroo-i wal masaakiin (doanya orang-orang lemah).”
Bagaimanakah cara kita membumikan pesan Nabi itu? Jika tidak ada pemuda muslim yang melakukan penerjemahan bukan mustahil bila petunjuk Rasul ini akan menjadi nasihat sambil lalu saja. Adalah tugas kaum revousioner Islam untuk menilaigunakan hadist ini agar bisa dipakai dalam perpolitikan golongan Islam. Hal penting dari pemaknaan hadist ini adalah penghapusan ‘asosiasi simbolik’ yang sebelumnya sudah tertanam dalam benak kita bahkan sebelum kita mendengar sabda Rasul ini. Berikut ini akan diterangkan apa itu asosiasi simbolik yang harus dihapus dalam penjabaran masing-masing pilar di atas.
“Sabda Rasulullah SAW, tegaknya Negara ditunjang empat pilar. Pertama bi’ilmil ulama (dengan ilmu ulama), kedua bi-adillatil umaro (dengan keadilan para pemimpin/pejabat/pemerintah/penguasa), ketiga bisaqoowatil aghniyaa (peran para aghniya/orang-orang kaya), keempat bidu’aail fuqoroo-i wal masaakiin (doanya orang-orang lemah).”
Bagaimanakah cara kita membumikan pesan Nabi itu? Jika tidak ada pemuda muslim yang melakukan penerjemahan bukan mustahil bila petunjuk Rasul ini akan menjadi nasihat sambil lalu saja. Adalah tugas kaum revousioner Islam untuk menilaigunakan hadist ini agar bisa dipakai dalam perpolitikan golongan Islam. Hal penting dari pemaknaan hadist ini adalah penghapusan ‘asosiasi simbolik’ yang sebelumnya sudah tertanam dalam benak kita bahkan sebelum kita mendengar sabda Rasul ini. Berikut ini akan diterangkan apa itu asosiasi simbolik yang harus dihapus dalam penjabaran masing-masing pilar di atas.
Pilar pertama bi’ilmil ulama
Bila mendengar kata ulama, asosiasi simbolik dalam pikiran kita akan otomatis menunjuk pada sosok orang bersorban yang bekerja mengurus pesantren dan sibuk menghafal Al Quran. Artinya, jika kita menilai diri kita bukan ulama, bukan ustad, maka saya tidak termasuk pilar pertama. Inilah kesalahan pertama. Kita harus menterjemahkan bi’ilmil ulama sebagai ilmu pengetahuannya orang berilmu. Artinya siapapun yang merasa berkepentingan menambah ilmunya demi kualitas hidupnya maka secara bersamaan ia tergolong dalam pilar pertama. Tidak cuma ulama dan ustad namun mereka dari pilar-pilar lainnya juga bisa termasuk dalam pilar pertama ini. Seorang amir umaro tidak mungkin menegakkan keadilan jika ia tidak punya pengetahuan tentang menjalankan organisasi dan pemahaman atas anggotanya. Seorang aghniya tidak akan berguna jika ia tidak punya ilmu soal bagaimana memperoleh dan menafkahkan hartanya secara halal dan benar. Demikian pula seorang dhuafa tidak akan memperoleh jalan untuk merubah nasibnya tanpa ilmu. Singkat kata dapat dikatakan kalau semua ilmu yang ditunjukkan Allah kepada kita, entah itu ilmu agama, sains, ilmu sosial, maupun ilmu keterampilan pasti berguna untuk menegakkan negara. Selama kita bersedia mempelajari ilmu karena kegunaannya maka kita tergolong pilar pertama masyarakat Islam.
Bila mendengar kata ulama, asosiasi simbolik dalam pikiran kita akan otomatis menunjuk pada sosok orang bersorban yang bekerja mengurus pesantren dan sibuk menghafal Al Quran. Artinya, jika kita menilai diri kita bukan ulama, bukan ustad, maka saya tidak termasuk pilar pertama. Inilah kesalahan pertama. Kita harus menterjemahkan bi’ilmil ulama sebagai ilmu pengetahuannya orang berilmu. Artinya siapapun yang merasa berkepentingan menambah ilmunya demi kualitas hidupnya maka secara bersamaan ia tergolong dalam pilar pertama. Tidak cuma ulama dan ustad namun mereka dari pilar-pilar lainnya juga bisa termasuk dalam pilar pertama ini. Seorang amir umaro tidak mungkin menegakkan keadilan jika ia tidak punya pengetahuan tentang menjalankan organisasi dan pemahaman atas anggotanya. Seorang aghniya tidak akan berguna jika ia tidak punya ilmu soal bagaimana memperoleh dan menafkahkan hartanya secara halal dan benar. Demikian pula seorang dhuafa tidak akan memperoleh jalan untuk merubah nasibnya tanpa ilmu. Singkat kata dapat dikatakan kalau semua ilmu yang ditunjukkan Allah kepada kita, entah itu ilmu agama, sains, ilmu sosial, maupun ilmu keterampilan pasti berguna untuk menegakkan negara. Selama kita bersedia mempelajari ilmu karena kegunaannya maka kita tergolong pilar pertama masyarakat Islam.
Pilar kedua bi-adillatil umaro
Asosiasi simbolik kita akan menunjuk pada sosok berjas yang menjadi pemimpin/pejabat/pemerintah/penguasa negara ini. Hal ini tidak berlaku jika kita sadari konsep kepemimpinan itu berjenjang dan bisa dipecah ke dalam tingkat nukleus dasar. Semua tingkat kelompok organisasi butuh kepemimpinan dan setiap kepemimpinan diharuskan paham apa itu adil. Keadilan dibutuhkan semua tingkat kelompok manusia demi keutuhan kelompok itu sendiri. Situasi tidak adil dalam suatu kelompok manusia akan menimbukan ketidakpercayaan pada anggota kelompok lainnya dan ketidakpercayaan kepada pemimpin kelompok. Bila sudah demikian, situasi tidak adil akan menyebabkan anggota tidak nyaman dan berusaha untuk memisahkan diri dari kelompok. Organisasi seperti itu akan kehilangan persatuan dan niscaya akan bubar. Segala bentuk kepemimpinan entah itu pemimpin kantor, pimpinan perkumpulan, bahkan sebuah keluarga selalu butuh keadilan kepala rumah tangganya. Semua orang selama memikul tanggung jawab atas orang lain dalam kepemimpinannya adalah pilar kedua masyarakat Islam.
Asosiasi simbolik kita akan menunjuk pada sosok berjas yang menjadi pemimpin/pejabat/pemerintah/penguasa negara ini. Hal ini tidak berlaku jika kita sadari konsep kepemimpinan itu berjenjang dan bisa dipecah ke dalam tingkat nukleus dasar. Semua tingkat kelompok organisasi butuh kepemimpinan dan setiap kepemimpinan diharuskan paham apa itu adil. Keadilan dibutuhkan semua tingkat kelompok manusia demi keutuhan kelompok itu sendiri. Situasi tidak adil dalam suatu kelompok manusia akan menimbukan ketidakpercayaan pada anggota kelompok lainnya dan ketidakpercayaan kepada pemimpin kelompok. Bila sudah demikian, situasi tidak adil akan menyebabkan anggota tidak nyaman dan berusaha untuk memisahkan diri dari kelompok. Organisasi seperti itu akan kehilangan persatuan dan niscaya akan bubar. Segala bentuk kepemimpinan entah itu pemimpin kantor, pimpinan perkumpulan, bahkan sebuah keluarga selalu butuh keadilan kepala rumah tangganya. Semua orang selama memikul tanggung jawab atas orang lain dalam kepemimpinannya adalah pilar kedua masyarakat Islam.
Pilar ketiga bisaqoowatil aghniyaa
Banyak para pihak bahkan para ulama fiqih sendiri melakukan asosiasi simbolik atas para aghniya sebagai orang-orang kaya/para konglomerat yang memberikan kontribusi kepada pemerintah negara. Umat Islam yang merasa bukan konglomerat, yang merasa penghasilannya pas-pasan akan menganggap mereka uzur sebagai aghniya. Inilah bentuk kesalahan berikutnya. Pengertian aghniya harus diperluas menjadi orang yang memiliki harta, sesedikit apapun selama ia sadar Allah telah memberikan harta kepadanya. Dari sini mekanisme sedekah bekerja dalam masyarakat Islam. Kita tidak perlu menunggu jadi kaya terlebih dulu sebelum menyumbang baitul maal. Sekecil apapun pendapatan kita, selama kita menyadari pentingnya bersedekah, entah itu melalui zakat maupun infak, akan menggugah kita menyisihkan sebagian harta kita demi kepentingan ad Diin (agama). Setelah menyisihkan harta untuk kepentingan Islam mungkin kita akan berpikir betapa sedikitnya hak yang kita terima selaku pemilik harta. Barulah disadari betapa konsepsi kebutuhan itu sesuatu yang amat ulet (fleksibel). Di tengah kesempitan materi, kita tetap bisa memenuhi kebutuhan kita secara wajar dengan pola hidup amat sederhana (austerity). Tradisi asketik malah berkesesuaian dengan sikap kaum Revolusioner Islam yang zuhud. Dalam Islam sendiri kita kenal bahwa muslim yang mau berjihad dengan jiwa dan harta mereka akan mendapat ganjaran surga. Ini berkebalikan dengan pengertian aghniya sebagai orang-orang kaya. Sebelum merasa kaya atau berkelebihan harta orang akan enggan bersedekah membantu keuangan masyarakat Islam. Ini bisa menimbulkan gejala ke-bakhil-an. Jiwa yang selalu mengejar status kekayaan akan selalu cenderung menaikkan batas harta yang terkumpul. Dia selalu merasa dalam kekurangan karena belum semua keinginannya terpenuhi sementara apa yang ia inginkan selalu ditambahkan ke dalam daftar keinginan tanpa henti. Karena status ‘kaya’ belum pernah tercapai sebanyak apapun harta yang dikumpulkan, ia tidak akan pernah merasa perlu untuk bersedekah ke baitul maal.
Banyak para pihak bahkan para ulama fiqih sendiri melakukan asosiasi simbolik atas para aghniya sebagai orang-orang kaya/para konglomerat yang memberikan kontribusi kepada pemerintah negara. Umat Islam yang merasa bukan konglomerat, yang merasa penghasilannya pas-pasan akan menganggap mereka uzur sebagai aghniya. Inilah bentuk kesalahan berikutnya. Pengertian aghniya harus diperluas menjadi orang yang memiliki harta, sesedikit apapun selama ia sadar Allah telah memberikan harta kepadanya. Dari sini mekanisme sedekah bekerja dalam masyarakat Islam. Kita tidak perlu menunggu jadi kaya terlebih dulu sebelum menyumbang baitul maal. Sekecil apapun pendapatan kita, selama kita menyadari pentingnya bersedekah, entah itu melalui zakat maupun infak, akan menggugah kita menyisihkan sebagian harta kita demi kepentingan ad Diin (agama). Setelah menyisihkan harta untuk kepentingan Islam mungkin kita akan berpikir betapa sedikitnya hak yang kita terima selaku pemilik harta. Barulah disadari betapa konsepsi kebutuhan itu sesuatu yang amat ulet (fleksibel). Di tengah kesempitan materi, kita tetap bisa memenuhi kebutuhan kita secara wajar dengan pola hidup amat sederhana (austerity). Tradisi asketik malah berkesesuaian dengan sikap kaum Revolusioner Islam yang zuhud. Dalam Islam sendiri kita kenal bahwa muslim yang mau berjihad dengan jiwa dan harta mereka akan mendapat ganjaran surga. Ini berkebalikan dengan pengertian aghniya sebagai orang-orang kaya. Sebelum merasa kaya atau berkelebihan harta orang akan enggan bersedekah membantu keuangan masyarakat Islam. Ini bisa menimbulkan gejala ke-bakhil-an. Jiwa yang selalu mengejar status kekayaan akan selalu cenderung menaikkan batas harta yang terkumpul. Dia selalu merasa dalam kekurangan karena belum semua keinginannya terpenuhi sementara apa yang ia inginkan selalu ditambahkan ke dalam daftar keinginan tanpa henti. Karena status ‘kaya’ belum pernah tercapai sebanyak apapun harta yang dikumpulkan, ia tidak akan pernah merasa perlu untuk bersedekah ke baitul maal.
Pilar keempat bidu’aail fuqoroo-i wal masaakiin
Bila kita mendengar istilah dhuafa, asosiasi simbolik kita langsung menunjuk pada sosok miskin atau golongan yang berkondisi di bawah kita. Padahal tidak demikian. Kalau kita punya pandangan bahwa selalu ada yang lebih baik dari kita, selalu ada manusia lain yang lebih baik dari kita maka akan terbentuk pikiran bahwa kita selalu dalam posisi lebih lemah. Atau katakanlah bila kita makhluk terbaik di muka bumi, masih ada Allah di atas kita selaku dzat terbaik. Artinya kita ini sebenarnya senantiasa dalam posisi dhaif, pada dasarnya kita dhuafa. Pemikiran macam ini harus dianut oleh setiap diri Revolusioner Islam sebagai prasyarat untuk hidup rendah hati sekaligus menjauhkan diri dari kesombongan (takabur) yang membuat-buat sistem derajat dalam masyarakat. Dalam kesadaran sebagai dhuafa, setiap doa yang kita panjatkan adalah doa yang bermakna bagi kehidupan umat. Terutama doa mengenai nasib kaum mukmin, doa tentang masa depan umat Islam di bumi Nusantara. Tidak diragukan lagi kalau doa yang menyangkut nasib banyak orang, yang dipanjatkan oleh kaum yang menyadari ke-dhaif-annya, doa yang penuh harap kepada Allah, akan menjadi salah satu pilar umat sebagaimana maksud hadist di atas.
Bila kita mendengar istilah dhuafa, asosiasi simbolik kita langsung menunjuk pada sosok miskin atau golongan yang berkondisi di bawah kita. Padahal tidak demikian. Kalau kita punya pandangan bahwa selalu ada yang lebih baik dari kita, selalu ada manusia lain yang lebih baik dari kita maka akan terbentuk pikiran bahwa kita selalu dalam posisi lebih lemah. Atau katakanlah bila kita makhluk terbaik di muka bumi, masih ada Allah di atas kita selaku dzat terbaik. Artinya kita ini sebenarnya senantiasa dalam posisi dhaif, pada dasarnya kita dhuafa. Pemikiran macam ini harus dianut oleh setiap diri Revolusioner Islam sebagai prasyarat untuk hidup rendah hati sekaligus menjauhkan diri dari kesombongan (takabur) yang membuat-buat sistem derajat dalam masyarakat. Dalam kesadaran sebagai dhuafa, setiap doa yang kita panjatkan adalah doa yang bermakna bagi kehidupan umat. Terutama doa mengenai nasib kaum mukmin, doa tentang masa depan umat Islam di bumi Nusantara. Tidak diragukan lagi kalau doa yang menyangkut nasib banyak orang, yang dipanjatkan oleh kaum yang menyadari ke-dhaif-annya, doa yang penuh harap kepada Allah, akan menjadi salah satu pilar umat sebagaimana maksud hadist di atas.
Dari ulasan singkat tersebut dapat kita simpulkan bahwa perluasan arti yang dianjurkan kaum Revousioner Islam malah berpotensi menyatukan umat muslim dan menjadikan semua orang bisa mengambil peran dari nasihat Rasulullah tersebut. Coba bayangkan sebaliknya jika kita tidak melakukan perluasan arti. Akan kita dapati orang-orang yang berpikir sempit dan simplistik macam: “Saya bukan kyai ulama karena tak punya pesantren sehingga bukan pilar pertama, saya bukan pemimpin atau pejabat sehingga tidak perlu adil seperti pilar kedua, saya juga bukan aghniya karena bukan konglomerat bahkan penghasilan saya pas-pasan, tetapi saya bukanlah dhuafa karena saya bukan gelandangan miskin!” Jika ada yang berpikir demikian maka ia merasa tidak termasuk keempat pilar umat dan tidak mengambil peran apa-apa atas kehidupan masyarakat Islam. Dengan kata lain, nasihat baginda Rasulullah tentang empat pilar umat bisa sia-sia karena sikap ‘asosiasi simbolik’.
Pembedaan empat pilar umat ternyata mutlak dalam teori namun harus cair dalam kenyataan. Sudah menjadi tugas kaum revolusioner untuk membaurkan pembagian itu hingga tidak ada kesenjangan dan mewujudkan hadist itu dalam realitas umat. Masyarakat Islam harus cinta ilmu pengetahuan karena yakin hanya dengan jalan itulah kualitas hidup dapat ditingkatkan, dan tatanan negeri bersendi syariat bisa didirikan. Kemudian keadilan adalah saudara kembar dari kepemimpinan. Persatuan umat akan terancam tanpa keadilan karena tiada kelompok manusia yang bisa selamat tanpa menegakkan keadilan. Dengan bersedekah dibangun kesadaran untuk membentuk perbendaharaan harta bersama. Semua level organisasi terjamin pemenuhan kebutuhan materinya lewat kas bersama atau baitul maal. Sedekah juga mempererat persatuan (solidaritas) antar anggota kelompok sekaligus cermin keadilan sang pemimpin. Lalu akhirnya semua amalan duniawi itu harus disampaikan maksudnya kepada Allah lewat doa yang penuh kerendahan hati. Jadi fungsi Empat Pilar Umat sangatlah jelas: ilmu untuk berkembang, adil untuk utuh bersatu, urunan harta untuk bertahan hidup, dan doa untuk pelihara harapan kepada Allah.
Sekarang akan kita coba selidiki Empat Pilar Kebangsaan yang belakangan gencar disosialisasikan kepada seluruh komponen rakyat indonesia. Empat pilar bangsa adalah konsep tambahan dalam suatu ‘paham kebangsaan’ mengenai unsur-unsur yang dianggap mampu menopang tegaknya ide eksistensi bangsa Indonesia. Menurut konsep ini keempat pilar itu adalah: Undang-Undang Dasar 45, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
UUD 45 dipandang sebagai suatu landasan yuridis formal untuk semua tindakan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Semua aktifitas berbangsa harus merujuk pada aturan hukum ini.
Pancasila adalah satu-satunya ideologi yang dianut, diakui, dan yang boleh hidup di dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan yang tercantum dalam lambang negara Indonesia. Dicantumkannya semboyan ini sebagai pilar bangsa karena kedudukannya sebagai dasar sosiologis dalam pergaulannya bangsa Indonesia.
NKRI dipandang sebagai satu-satunya wujud fisik atau realitas bangsa Indonesia. Yaitu menunjuk pada suatu bangsa yang hidup di gugusan kepulauan Nusantara, diantara dua samudera dan diantara dua benua.
UUD 45 dipandang sebagai suatu landasan yuridis formal untuk semua tindakan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Semua aktifitas berbangsa harus merujuk pada aturan hukum ini.
Pancasila adalah satu-satunya ideologi yang dianut, diakui, dan yang boleh hidup di dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan yang tercantum dalam lambang negara Indonesia. Dicantumkannya semboyan ini sebagai pilar bangsa karena kedudukannya sebagai dasar sosiologis dalam pergaulannya bangsa Indonesia.
NKRI dipandang sebagai satu-satunya wujud fisik atau realitas bangsa Indonesia. Yaitu menunjuk pada suatu bangsa yang hidup di gugusan kepulauan Nusantara, diantara dua samudera dan diantara dua benua.
Sebagai kaum yang menghargai pihak lain dan tidak anti perdebatan obyektif, kami selaku Revolusioner Islam punya pandangan lain atas konsep Empat Pilar Bangsa. Adapun pandangan itu adalah:
- Bangsa Indonesia tidak homogen. Ini bukan pengulangan pernyataan salah satu pilar soal ke-bhinneka-an tetapi penegasan kalau cara pandang diatas dibangun atas asumsi ide ‘bangsa Indonesia’ sudah solid, sudah utuh, dan final. ‘Bangsa Indonesia’ adalah ‘mereka yang nasionalis’. Mereka yang tidak nasionalis dianggap sudah menyimpang dari ide bangsa Indonesia. Realitasnya sampai sekarang adalah bangsa Indonesia tidak semuanya berpaham nasionalis. Secara de facto ada golongan Islam sebagai salah satu golongan dominan dalam ‘bangsa Indonesia’. Kamipun menghormati eksistensi kaum nasionalis dan kaum sosialis di dalam konsep kebangsaan ini.
- Pancasila bukan ‘ideologi bersama’ bahkan tidak bisa jadi ideologi karena ketidaklengkapannya. Sesuai wujudnya, Pancasila harus bisa diperas menjadi Trisila yang menunjuk pada ‘subjek orisinal’ kekuatan politik bangsa Indonesia, yang kemudian bisa diperas lagi menjadi Ekasila yang menunjuk pada ‘objek yang dikerjakan ketiga kekuatan politik bangsa’ yakni Gotong-royong. Dari sini jelas bahwa Pancasila lebih memenuhi syarat sebagai suatu perjanjian daripada sebagai sebuah ideologi. Perjanjian antara golongan Nasionalis, Islam, dan Sosialis. Perjanjian yang berisi pengakuan ideologi-ideologi yang dianut ketiga golongan. Logika gotong-royong adalah aktifitas yang dilakukan oleh subjek jamak, sehingga mustahil dikerjakan oleh ‘mereka yang nasionalis saja’.
- Konsep bhinneka harus merujuk pada pluralitas bukan pluralisme. Pluralitas adalah kondisi sementara pluralisme adalah aktifitas. Pluralitas itu diam sementara pluralisme itu dinamis. Kami harus menolak pluralisme karena wujudnya berupa ajaran, tentu saja ajaran yang diusung sang subjek. Bisa saja ajarannya kaum nasionalis atau kaum internasionalis (sosialis), bahkan ajarannya golongan liberal. Yang jelas ini bukan ajaran kami dan kami secara tegas tidak perlu menyemaikan ajaran golongan lain di tubuh golongan Islam. Bagi kami, pluralitas punya starting point, punya titik mula yang lebih netral. Pluralitas ialah pengakuan atas kenyataan kalau Indonesia dihuni oleh kelompok manusia yang memiliki perbedaan prinsipil, termasuk perbedaan konsekuensi politik yang menyertainya. Golongan Islam punya kebebasan untuk memberi cara pandang dan penilaian atas pluralitas Indonesia. Demikian pula golongan lain juga punya hak yang sama atas pluralitas Indonesia. Penilaian kami adalah bahwa tiada konsep ‘unity through diversity’ sebagaimana diterjemahkan banyak pihak pada ke-bhinneka-an. Persatuan tak bisa diperoleh dari inventarisasi banyaknya perbedaan. Sebaliknya, secara alami persatuan cuma bisa diperoleh dari persamaan. Persamaan cara pandang atas suatu hal. Menambah panjang daftar perbedaan hanya akan memperparah disintegrasi sosial, yang berujung pada banyaknya variasi konflik. Perbedaan suku dan etnis tidak perlu lagi ditampilkan karena sudah diatasi evolusi paham nasionalis dari ‘nasionalisme fisik’ menjadi ‘nasionalisme sosiologis’ berupa Marhaenisme. Sementara perbedaan agama juga sudah sampai pada realitas bahwa umat Islam menjadi kekuatan paling dominan di negeri ini sehingga aspirasi umat agama minoritas harus berafiliasi pada kekuatan politik dominan lainnya, atau bahkan berafiliasi pada keadilan yang diberikan politik Islam. Kami selalu terbuka untuk hal itu. Menunjuk pluralitas sebagai ‘kumpulan begitu banyak perbedaan’ adalah berpikir mundur karena cuma kembali menampilkan proto-nasionalisme yang sudah diatasi sebelumnya. Sesungguhnya perbedaan itu sudah mengerucut pada tiga kekuatan yang diwakili dalam Trisila, yang diidentifikasi Soekarno sebagai Nasakom.
- Memandang Empat Pilar Kebangsaan sebagai harga mati adalah penutupan pintu dialog yang menyebabkan golongan Islam seperti kami merasa diabaikan. Pandangan bahwa bangsa Indonesia itu hanya terdiri dari golongan nasionalis saja adalah ilusi congkak yang menganggap golongan kami sudah ‘diatasi’. Kaum nasionalis masih harus banyak berkompromi dengan golongan lain seperti kami maupun kelompok sosialis. Bukannya malah melenggang naik podium sambil mengaku sebagai ahli waris tunggal NKRI. Kami tak akan punah hanya karena diabaikan, dan tak akan sudi ditaklukkan tanpa pertarungan. Pencampuran ideologi seperti jargon ‘nasionalis relijius’ akan tak berguna samasekali karena mencurangi pengabdian dan kesetiaan, bahkan mengingkari siapa sebenarnya diri kita. Perlakuan macam ini tidak bisa diterima kaum Revolusioner Islam dan akan dianggap sebagai penghinaan.
- Bagi kebanyakan awam rakyat Indonesia, konsepsi Empat Pilar Bangsa ini hanya menjejali teori filsafat Pancasila yang sebelumnya sudah rumit menjadi berputar-putar tanpa tujuan. Sungguh aneh bila kita berusaha memberi penerangan namum malah mempersulit keinsyafan.
Apabila telah memahami perbedaan yang diuraikan di atas, kini kaum Revolusioner Islam punya hujjah (argumen) untuk menolak Empat Pilar Bangsa dan secara bersamaan menjadikan Empat Pilar Umat sebagai miliknya umat Islam di negeri ini. Tujuan Empat Pilar Umat jauh lebih mudah dipahami yaitu untuk mengetahui unsur utama umat Islam bisa dibangkitkan di belahan dunia manapun ia berada: Pengetahuan, Keadilan, Harta, dan Doa. Sementara konsep Empat Pilar Bangsa masih dibangun di atas asumsi-asumsi keliru pada sosok bangsa Indonesia. Konsep yang tidak dibangun di atas realitas jelas tidak akan bisa bertahan karena berfungsi tak lebih daripada fantasi atau takhayul. Kaum Revolusioner Islam sebenarnya punya kesadaran soal ‘kebangsaan Indonesia’ dengan penjelasan yang jauh lebih sederhana. Kebangsaan Indonesia adalah kerjasama, adalah gotong-royongnya kekuatan-kekuatan ideologis yang hidup di dalam negeri Nusantara itu sendiri. Kami tidak akan mungkin bekerjasama jika kami tidak diakui. Kami adalah kelompok yang hidup dengan kebudayaan Islam, yang menginginkan syariat Islam sebagai way of life-nya, yang merumuskan kemajuannya dengan Revolusi Islamnya sendiri. Pemaksaan yang menginginkan kami berideologi dengan ideologi selain Islam adalah penghianatan sesungguhnya atas persatuan bangsa. Dan hanya dengan pengakuan atas semua itu sajalah kaum Revolusioner Islam bersedia bekerjasama dengan komponen bangsa Indonesia lainnya.(Goy)
Wallahu a’lam bishawab’