Tuesday, August 22, 2017

Ibadah yang Membuat ALLAH Senang

Dialog Nabi Musa dengan Allah Ta’ala
NABI MUSA adalah nabi yang nama dan kisahnya paling banyak disebut  dalam Al Qur’an. Nama nabi Musa tercantum dalam Al-Qur’an  lebih dari 125 kali. Sementara nabi Isa disebutkan sebanyak 25 kali, sedangkan nama Muhammad SAW hanya disebutkan 4 kali.[1]
Nabi Musa As merupakan salah satu dari lima nabi yang memiliki sifat Ulil ‘Azmi (golongan nabi pilihan yang mempunyai ketabahan luar biasa dalam menyebarkan ajaran tauhid), yang    menurut urutanya menduduki martabat ketiga (Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad). Nabi Musa adalah nabi yang membawakan kitab suci Taurat.
Nabi Musa adalah nabi yang mendapat gelar “Kalimullah”, artinya nabi yang dapat wahyu langsung dari Allah (tanpa melalui perantaraan  malaikat Jibril), sedang rasul-rasul yang lain mendapat wahyu melalui perantaraan Jibril. Kisah-kisah nabi Musa sering diceritakan oleh para ulama.
Dalam kitab Mukasyafatul Qulubkarya Imam Al Ghazali, diceritakan dialog antara Nabi Musa As dengan Allah SWT;
Musa : "Wahai Allah aku sudah melaksanakan ibadah.  Manakah diantara ibadahku yang membuat Engkau senang. Apakah shalatku?
Allah: "Sholat mu itu untukmu sendiri. Karena shalat membuat engkau terpelihara dari perbuatan keji dan munkar.”
Musa : “Apakah dzikirku?”
Allah:  “Dzikirmu itu untukmu sendiri. Karena dzikir membuat hatimu menjadi tenang.”
Musa : “Puasaku ?
Allah : “Puasamu itu untukmu sendiri. Karena puasa melatih diri memerangi hawa nafsumu"
Musa: ”Lalu ibadah apa yang membuat Engkau senang ya Allah?"
Allah: ”Sedekah. Tatkala engkau membahagiakan orang yang sedang kesusahan dengan sedekah, sesungguhnya Aku berada disampingnya. "
Dari dialog tersebut, kita pahami bahwa ternyata shalat, puasa dan dzikir masih belum membuat Allah menjadi senang, meski ibadah tersebut sangat tinggi nilai pahalanya. Kenapa demikian? Karena ibadah tersebut hanya berdampak baik terhadap pribadi pelakunya, tetapi tidak mengandung manfaat bagi orang lain.
Sedangkan sedekah merupakan amal perbuatan yang bukan hanya berpahala bagi dirinya, tetapi juga membuat bahagia orang lain.  Amal perbuatan yang membahagiakan orang lain, terutama yang sedang mengalami kesulitan, adalah perbuatan yang sangat disukai oleh Allah Ta’ala. Perbuatan seperti inilah yang membuat Allah menjadi senang.


Abdul Aziz bin Umair Ra berkata,  “Shalat hanya mengantarkanmu sampai setengah perjalanan surga. Puasa mengantarkanmu hingga ke depan pintu surga. Dan sedekah memasukanmu ke dalamnya (surga)”
Menurut Abdul Aziz, bahwa seseorang yang hanya tekun shalat dan puasa tetapi tidak bersedekah, maka ia belum memenuhi syarat untuk masuk surga. Orang seperti ini hanya layak sampai di pintu surga saja. Dan sedekah merupakan ibadah penyempurna untuk memasukkannya ke dalam surga.
Oleh karenanya, para ulama memberi warning ; Bila seseorang hanya sibuk dengan ibadah ritual saja (shalat, dzikir, puasa, haji, dsb), maka jangan dulu merasa puas dan bangga.  Karena itu tandanya ia hanya mencintai dirinya sendiri, dan belum sepenuhnya mencintai Allah. Padahal dalam Al-Qur’an, Allah berulang kali memerintahkan hambanya untuk bersedekah.[2]Bila seseorang mengabaikan perintah Allah untuk bersedekah maka itu berarti ia tidak mencintai Allah.

Kesalehan individual dan kesalehan sosial
Bentuk kesalehan ada dua macam, yaitu kesalehan individual (untuk diri sendiri) dan kesalehan sosial (untuk orang lain). Orang yang rajin melakukan ibadah ritual seperti shalat, puasa, dzikir dan haji maka ia disebut orang saleh secara individual. Karena kesalehannya hanya untuk dirinya sendiri. Perbuatannya disebut sebagai “kesalehan individual”.
Sedangkan orang yang rajin berbuat baik kepada sesama seperti sedekah, ramah, peduli, empati, dan perbuatan lain yang memberi manfaat bagi orang lain maka ia disebut sebagai orang yang saleh secara sosial. Perbuatannya disebut sebagai “kesalehan sosial”.
Orang mukmin harus mempunyai 2 kesalehan sekaligus, yaitu kesalehan individual dan kesalehan sosial.  Dalam khasanah Al-Qur’an, “Hablim minallah” dan “hablim minan naas” harus berjalan beriringan. 
Allah berfirman, Dhuribat ‘alaihi mudh dhillatu ainamaa - tsuqifuu  illaa  bi hablim minallahi  wa hablim minan naas” (QS. Ali Imran 112).   ArtinyaDitimpakan atas mereka ‘kehinaan’ dimana saja mereka berada, kecuali kalau mereka berhubungan baik dengan Allah (hablim minallah) dan berhubungan baik dengan sesama manusia (hablim minan naas).”   
Tidak dibenarkan seseorang hanya “hablim minallah” saja, atau “hablil minan naas” saja. “Hablim minallah” dan “hablim minan naas” harus seimbang, harus berjalan beriringan.  Allah SWT secara tegas memerintahkan kita agar masuk Islam secara kaffah (menyeluruh). Udkhulu fis-silmi kaffah (QS. Al Baqarah: 208), artinya “Masuklah ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh)”.  
Sedekah merupakan implementasi dari kesalehan sosial.  Menurut Rasulullah, orang yang mempunyai kesalehan sosial adalah orang yang paling baik. Rasulullah bersabda, ”Khairunnas anfa’uhum linnas”, artinya ”Manusia yang paling baik (dicintai Allah Ta’ala), ialah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain.  (HR. Ibnu Hajar Al-Asqalani).

Keistimewaan Orang Yang Suka Bersedekah
Terkait dengan sedekah, ada sebuah kisah. Pada suatu peperangan yang dimenangkan oleh kaum Muslimin, banyak orang Yahudi yang diancam hukuman mati.  Ketika tiba pada satu tawanan yang mau dihukum mati, tiba-tiba malaikat jibril datang memberi tahukan kepada Rasulullah SAW, supaya orang Yahudi itu dibebaskan.  Diberitahukan bahwa orang Yahudi yang satu ini suka bersedekah, suka menolong fakir miskin, suka menjamu tamu dan suka memikul beban orang lain. 
Ketika Rasulullah datang memberitahukan kepada orang Yahudi itu bahwa dia dibebaskan, dia terkejut dan bertanya: “Mengapa?”.  Nabi menjawab: “Allah baru saja memberitahukan padaku bahwa engkau adalah orang yang suka bersedekah, suka menolong fakir miskin, suka menjamu tamu, dan suka memikul beban orang lain.”  
Kemudian orang Yahudi itu berkata: “Apakah Tuhanmu menyukai perilaku seperti ini?”. Nabi menjawab : ”Betul, Tuhanku menyukai hambanya yang suka bersedekah”.  Saat itu juga orang Yahudi tersebut memeluk Islam.  Dia masuk Islam karena Allah menyukai orang yang dermawan, yang gemar bersedekah.
Keistimewaan bagi orang yang suka bersedekah (dermawan) adalah mereka lebih dekat dan lebih dicintai Allah Ta’ala.  Rasulullah bersabda : “Orang bodoh yang dermawan lebih dicintai Allah ketimbang ahli ibadah yang pelit.” (HR. Al-Tirmidzi dari Abu Hurairah)
Lebih lanjut Rasulullah juga bersabda,  “Orang yang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia dan dekat dengan surga. Sedangkan orang yang pelit (bakhil) itu jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka.”  (HR. Al-Tirmidzi dari Abu Hurairah)

Pendusta Agama
Terkait dengan “hablim minan naas” atau kepedulian sosial, bahwa Allah Ta’ala memberi stigma (stempel) kepada orang yang tidak mempunyai kepedulian sosial dengan sebutan “Pendusta agama”.
Allah berfirman dalam Surah Al-Ma’un, tentang Pendusta Agama: (1) Araitalladzi yukaddzibu biddiin, (2) Fa’dzaalikal ladzii yadu’ul yatiim, (3) Wa laa yahudhdhu alaa tho’amil miskin, (4) Fawailul lil musallin, (5) Allazinahum  ‘an shalatihim sahun, (6) Allazinahum yuraa una, (7) Wa yamna ‘unal maa’un.
Artinya: (1) Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?, (2) Itulah orang yang menghardik anak yatim, (3) Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, (4) Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (5) (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, (6) Orang-orang yang berbuat riya, (7) Dan enggan (memberikan) bantuan.
Sesuai terjemahan, secara sempit bahwa pendusta agama adalah orang yang apatis (tidak peduli) terhadap nasib anak-anak yatim dan fakir miskin (dhuafa). Banyak orang mengira bahwa mereka tidak peduli terhadap anak yatim dan fakir miskin berarti mereka yang “tidak berbuat kebajikan”.   Padahal sesungguhnya pendusta agama mempunyai konsekuensi yang sangat besar terhadap amalan ibadah mahdhah yang telah dilakukan.
Menurut para mufassir, termasuk Prof. Dr. Hamka, hakekat “pendusta agama” adalah orang-orang yang “mendustai pilar agama” . Kita tahu bahwa pilar agama ada 5 yaitu: syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji.­
Jadi bagi orang-orang yang tidak peduli (apatis) terhadap nasib anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka mereka adalah pendusta agama, berarti mereka telah mendustai syahadatnya, mendustai shalatnya, mendustai puasanya, mendustai zakatnya, dan mendustai hajinya.

Amalan yang paling disukai Allah
Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling dicintai oleh Allah? Dan amalan apa yang paling dicintai oleh Allah?
Maka Rasulullah bersabda: “Orang yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah yang paling bermanfaat untuk manusia lainnya. Dan amalan yang paling dicintai oleh Allah Azza wa Jalla adalah memasukan kegembiraan ke dalam hati seorang mukmin, atau menghilangkan kesusahannya, atau membayarkan hutangnya, atau menghilangkan kelaparannya.  Dan aku berjalan bersama saudaraku untuk memenuhi kebutuhannya itu lebih aku cintai daripada ber-i’tikaf di masjid Nabawi selama sebulan lamanya.”  (HR. Ath Thabrani 6/139, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 2/575).
Mencermati hadits nabi tersebut, maka ada 3 intisari, yaitu:
1. Orang yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala BUKANLAH orang yang rajin beribadah ritual (shalat, dzikir, puasa, haji, dsb), tetapi adalah orang banyak dalam beribadah sosial (bermanfaat bagi masyarakat).
2. Amalan yang paling dicintai Allah adalah menolong saudara muslim yang mengalami kesulitan hidup.
3. Melakukan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan orang muslim, lebih baik daripada iktikaf di masjid Nabawi selama sebulan.

Sedekah ciri orang bertaqwa
Sedekah merupakan suatu perbuatan yang menjadi salah satu ciri bagi orang bertaqwa. Allah berfirman.  ”Hudallil muttaqiin – alladziina yu’minuuna bil ghaibi - wa yuqiimuunash shalaata- wa mim maa razaqnaahum yunfiquun”  (QS. Al-Baqarah: 2-3), artinya: ”(Al Qur’an) merupakan petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”



[1]Al Qur’an Surat 3:144, 33:40, 47:2, 48:29
[2]QS. Al Baqarah ayat 254 & 267; Al-Anfaal ayat 3 & Al-Hadiid ayat 10, dst.

DUA DIMENSI IBADAH.
Ibadah dalam Islam dibagi dalam dua dimensi, yaitu: ibadah Mahghah  (ibadah berdimensi ritual/individual) dan ibadah Ghair-mahdhah (ibadah berdimensi sosial).  Kedua dimensi ibadah tersebut harus dilakukan secara keseluruhan oleh setiap Muslim.  
Allah SWT secara tegas memerintahkan kita agar masuk Islam secara kaffah (menyeluruh). Udkhulu fis-silmi kaffah (QS. Al Baqarah: 208), artinya “Masuklah ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh)”.  Tidak dibenarkan seseorang hanya melaksanakan ibadah ritual saja,  sementara mengabaikan ibadah sosial. Demikian pula sebaliknya.  Ibadah ritual dan sosial harus dilaksanakan secara keseluruhan dan berimbang.
Allah SWT juga memerintahkan kita untuk berhubungan baik dengan sesama manusia (hablim minan naas): 
Dhuribat ‘alaihi mudh dhillatu ainamaa - tsuqifuu  illaa  bi hablim minallahi  wa hablim minan naas  (QS. Ali Imran 112) : Ditimpakan atas mereka ”kehinaan” dimana saja mereka berada, kecuali kalau mereka berhubungan baik dengan Allah (hablim minallah) dan berhubungan baik dengan sesama manusia (hablim minan naas).  

NILAI IBADAH SOSIAL LEBIH BESAR DARIPADA IBADAH RITUAL.
Prof. Dr. Jalaluddin Rahmad, berpendapat bahwa, Islam menekankan ibadah dalam dimensi sosial jauh lebih besar daripada dimensi ritual.    Kalau kebetulan kegiatan ibadah ritual itu bersamaan dengan pekerjaan lain yang mengandung dimensi sosial, maka Islam memeberi pelajaran untuk mendahulukan yang sosial.
> 
Ketika nabi sedang shalat di rumah, beliau berhenti dan membukakan pintu untuk tamu yang datang, kemudian beliau melanjutkan shalatnya kembali.
> 
Seseorang datang kepada rasulullah, mengadukan ada seseorang perempuan yang shalatnya rajin tetapi dia selalu menyakiti tetangga dengan lidahnya.    Apa kata Rasulullah?, ”Perempuan itu di neraka”. (HR. Ahmad, Hakim).
> 
Tidak beriman kamu, kalau kamu tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetanggamu kelaparan. (HR. Al-Bukhary) 
> 
Orang bodoh yang dermawan lebih dicintai Allah ketimbang ahli ibadah yang pelit. (HR. Al-Tirmidzi dari Abu Hurairah)
> 
Dalam suatu riwayat, Nabi pernah menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang bangkrut.  Rasulullah menjelaskan, sesungguhnya orang yang bangkrut adalah orang yang rajin menjalankan ritus-ritus ibadah (shalat, shaum, zakat, dan lain sebaginya), tetapi dia tidak memiliki akhlak yang baik, dia sering merampas hak orang lain, sering menyakiti hati orang, sering berbuat zalim, dsb.    Sehingga pahala amalnya habis berpindah ke orang lain dan dosanya bertambah banyak.
> 
Dalam suatu riwayat, diceritakan bahwa ada seorang wanita yang rajin shalat, berdzikir, dan berpuasa. Namun Rasulullah berkata bahwa wanita itu akan masuk neraka, karena ia jahat terhadap tetangganya.  Sebaliknya, Rasulullah bercerita tentang wanita lain yang shalatnya biasa, puasanya biasa, dan tidak begitu banyak shalat sunnah, Namun kata Nabi, ia akan masuk surga karena  sangat baik dan sangat sopan kepada tetangganya

AKHLAK UKURAN TINGKAT KEIMANAN
Tingkat keimanan seseorang diukur dari akhlaknya (prilaku sosial), bukan dari ibadah mahdhah semata. 
Pendusta Agama. Dalam al-Qur’an, Allah SWT mencap bagi orang-orang yang tidak peduli terhadap nasib fakir miskin sebagai  pendusta agama”.  Ara-aitalladzii yukadzdzibubiddiin    fadzaalikalladzi  yadu’ – ’ulyatiim   walaa yahudhdhu ’alaa tha’aamill miskin  (QS. Al-Ma’un: 1-3), artinya:  ”Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?. Mereka adalah orang yang menelantarkan anak yatim dan tidak peduli terhadap nasib orang miskin.”   
Prof. Dr. Hamka memaknai “pendusta agama”  adalah orang yang mendustai agama, yaitu mendustai shalatnya, mendustai zakatnya, mendustai puasanya, juga mendustai ibadah hajinya. Karena ibadah spiritual yang ia lakukan (shalat, zakat, puasa, dan haji) tidak berdampak baik pada ibadah sosialnya, yaitu tidak peduli terhadap nasib anak yatim dan  orang miskin.
Manusia yang paling baik.  Banyak hadis yang menyatakan bahwa untuk mengukur keimanan seseorang itu adalah dari akhlaknya (prilaku sosial).  Rasulullah bersabda, khairunnas anfa’uhum linnas , ”Manusia yang paling baik (dicintai Allah Ta’ala),  ialah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain.  (HR. Ibnu Hajar Al-Asqalani)
Amal yang paling utama. Ketika Rasulullah ditanya, ”Amal apa yang paling utama?”.  Nabi yang mulia menjawab, ”Seutama-utama amal ialah memasukkan rasa bahagia pada hati orang yang beriman, yaitu melepaskannya dari rasa lapar, membebaskannya dari kesulitan, dan membayarkan hutang-hutangnya.”  (HR. Ibnu Hajar Al-Asqalani)
Sedekah ciri orang bertaqwa. Salah satu ciri orang yang bertaqwa antara lain adalah menafkahkan sebagian rizki.  ”Hudallil muttaqiin – alladziina yu’minuuna bil ghaibi - wa yuqiimuunash shalaata- wa mim maa razaqnaahum yunfiquun”  (QS. Al-Baqarah: 2-3), artinya: ”(Al Qur’an) merupakan petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”
Shalat dan zakat. Di dalam Al-Quran, kata “shalat”pada umumnya digandengkan dengan kata zakat”.   “Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.” (QS. Al-Baqarah: 83).
Iman dan amal shaleh. Di dalam Al-Quran, kata “iman” pada umumnya digandengkan dengan kata “amal saleh”.  
(1) QS. Al-Baqarah: 82 ; “Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya”.
(2) QS. Thaha: 75 ; “Dan barang siapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal saleh, maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang tinggi (mulia)”.
Jadi tingkat keimanan seseorang itu, justru diukur dari akhlaknya (prilaku sosial), bukan dari ibadah mahdhah semata.  Namun kita sering mengukur ketaqwaan seseorang dari ritualnya ketimbang sosialnya.   Prof.  Mukti Ali : Orang-orang Muslim banyak yang lebih peka terhadap masalah-masalah ritual keagamaan, daripada masalah-masalah sosial. Padahal Allah memerintahkan untuk Hablu minallah wa habluminannnas secara seimbang.

----- ----- ----- -----

Dalam hadits qudsi, Allah SWT berbicara kepada nabi Musa AS.
"Wahai hamba Ku... aku lapar, tapi kenapa kalian tak memberi Aku makan,
Aku haus, tapi kenapa kalian tak beri Aku minum,
Aku susah, tapi kenapa kalian tak mengunjungi-Ku"

Ketika nabi Musa bertanya :
"Ya Rabb... di mana aku bisa menemui-Mu?"

Allah SWT berfirman:
"Barang siapa yang ingin menemui-Ku, maka temuilah mereka yang kehausan, mereka yang kelaparan, dan mereka yang kesusahan. Karena sesungguhnya Aku bersamanya."

Allah SWT menambahkan firman-Nya:

"Ketahuilah, tidaklah sampai cinta-Ku kecuali kalian mencintai sesama. Tidaklah sampai pelayanan-Ku, kecuali kalian sudi melayani sesama."


----- ----- ----- -----