Tuesday, August 29, 2017

Politik Paranoid

Orator dan demagog ulung Joseph Goebbels, menteri propaganda rezim Adolf Hitler, percaya bahwa kebohongan yang terus diulang-ulang dalam waktu lama akan menjadi fakta bagi kalangan yang picik dan tidak berpikir. Bahkan pembohongnya bisa jadi percaya pada kebohongannya sendiri. Dia juga mengatakan bahwa untuk mengendalikan massa dengan mudah, kita hanya perlu menciptakan ketakutan. Dukungan publik akan dapat  diraih apabila kemudian kita memproyeksikan diri sebagai orang kuat yang mampu memberi perlindungan.

Contoh yang relatif baru ialah unggulnya Donald Trump dalam pencalonan dirinya oleh Partai Republik kemudian menang dengan mengejutkan sebagai presiden ke-45 Amerika Serikat. Kemenangannya disebabkan oleh keberhasilannya dalam kampanye terencana dengan cara menciptakan, mengakomodasi, dan memanfaatkan rasa takut masyarakat terhadap imigran gelap, teroris ”Islam”, perdagangan bebas, dan hilangnya lapangan kerja yang disebabkan oleh barang murah China.

Trump kemudian berjanji mengatasi dengan cara sederhana, yakni akan mengusir 11 juta imigran gelap, melarang Muslim masuk Amerika, dan akan memaksa China tunduk pada tuntutan-tuntutan Amerika guna menjadikan Amerika Hebat Kembali (America Great Again).


Musuh bayangan

Inilah jenis politik yang diberi nama politik paranoid. Istilah politik paranoid pertama kali diperkenalkan dalam sebuah esai oleh sejarawan Amerika, Richard J Hofstadter, pada 1964 saat politisi Republikan ekstrim kanan, Barry Goldwater, mencalonkan diri sebagai presiden Amerika. Dia menyebut politik paranoid bukan hal baru. Politik seperti ini telah berulang kali dilakukan oleh politisi pada masa lalu dalam rangka meraih kekuasaan. Dalam istilah lain sering juga disebut sebagai politik rasa takut (politics of fear).

Politik paranoid berbeda dengan politik populis. Yang belakang ini lebih memfokuskan kepada isu-isu nyata jangka pendek yang populer di masyarakat, tetapi belum tentu bermanfaat untuk kepentingan nasional jangka panjang. Sementara politik paranoid menciptakan musuh-musuh bayangan (imagined enemies) sambil  mengeksploitasi status dan frustrasi sebagian masyarakat pemilih yang merasa terpinggirkan.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan paranoid atau paranoia? Paranoia adalah suatu jenis penyakit jiwa ketika penderitanya merasa atau berdelusi bahwa hidupnya terancam oleh berbagai hal di luar dirinya. Curiga kepada pihak lain tanpa memiliki bukti yang jelas. Cenderung menciptakan teori konspirasi. Diliputi rasa takut bahwa dirinya akan disakiti atau menjadi korban dari perlakuan orang lain. Penderitanya disebut mengidap paranoid.

Berbeda dengan fobia yang juga perasaan rasa takut dan benci yang tak rasional, paranoia biasanya menyertakan tuduhan palsu kepada pihak lain sehingga suatu kejadian biasa yang kebetulan dan tak disengaja akan dianalisis menjadi sesuatu yang serius dan mengancam. Dalam kasus klinis yang akut, penderita akan mendengar bisikan di telinganya tentang berbagai ancaman yang datang dari luar terhadap dirinya.

Penyakit paranoia klinis menjangkiti orang per orang. Namun, kelompok atau masyarakat apabila terus-menerus dihujani dengan kebohongan secara sengaja agar mengikuti tujuan yang ingin dicapai pembohong, dapat terjangkit paranoid secara bersama. Ketika dia menjadi penyakit masyarakat, penderita merasa bangsanya atau budayanya atau agama yang diyakininya sedang dalam bahaya.

Paranoia ala Indonesia

Di negeri kita belakangan ini ada sejenis paranoia di kalangan tertentu bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang bangkit kembali. Belum lama ini seorang petinggi Partai Gerindra menuduh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai partai berideologi komunis. Bahkan, Presiden kita tidak jarang menjadi korban fitnah sebagai orang dari keluarga PKI meski telah berkali-kali dibantah.

Apabila kepada mereka diminta membawa bukti-bukti bangkitnya PKI di negeri ini, mereka hanya akan menunjukkan beberapa foto orang berbaju kaus dengan gambar palu arit atau sekelompok keluarga korban pembasmian PKI pada tahun 1965 yang menuntut keadilan. Mereka lupa atau pura-pura lupa bahwa ideologi komunis di dunia sudah habis riwayatnya. Satu-satunya negeri di dunia yang masih mempraktikkan ideologi itu dalam sistem pemerintahannya hanya Korea Utara. China, meski masih mempertahankan nama partainya yang berkuasa sebagai Partai Komunis, dalam praktiknya saat ini sistem ekonomi China sudah jauh dari ideologi komunis, bahkan bisa dibilang sebagai sistem kapitalis tingkat tinggi.

Atau paranoid terhadap investasi China di sini yang dianggap sebagai bagian dari rancangan China untuk melakukan kolonisasi terhadap Indonesia. Ada video yang beredar yang menyatakan bahwa 200 juta warga Tiongkok akan berimigrasi kesini. Proyek reklamasi Jakarta disiapkan untuk menampung 20 juta warga China. Dan, masih banyak lagi klaim yang sulit diterima oleh akal sehat.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan juga menjadi sasaran tembak dengan menganggapnya sebagai rancangan pemerintah untuk menyudutkan umat Islam. Padahal perppu itu tidak menyebut agama apa pun dan ditujukan untuk menjaga persatuan dan keselamatan bangsa dari rongrongan kelompok radikal. Begitu pula ada paranoia tentang keadaan negara yang katanya hampir bangkrut karena terus bertambahnya utang pemerintah.

Padahal pemerintah belum melewati batas yang dibolehkan dalam undang-undang dan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto masih jauh di bawah banyak negeri lain.

Yang sangat memprihatinkan, mereka yang termakan oleh isu-isu paranoid ini bukan sekadar orang awam, melainkan juga mereka yang bergelar sarjana, bahkan petinggi beberapa universitas dan akademi. Para sarjana ini pada umumnya spesialis yang wawasannya sangat sempit. Internet dan media sosial juga memainkan peran besar dalam menggelembungkan isu-isu khayalan ini.

Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah adanya gejala yang mulai muncul kembali di permukaan yang memberi sinyal bahwa politik paranoid yang berpotensi memecah belah bangsa itu akan dihidupkan kembali untuk menghadapi persaingan pada pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden mendatang. Partai-partai politik tertentu merasa bahwa sebagai taktik kampanye telah  terbukti sukses meraih kemenangan pada Pilkada DKI yang lalu. Sebuah pilkada yang menyisakan luka-luka sampai sekarang.

Semoga tidak terjadi.

Abdillah Toha, Pemerhati Politik
Politisi senior DPP PAN & Pendiri PAN brsama Amien Rais.
Dosen & Intelektual alumni Univ of Western Australia

SUMBER:https://kompas.id/baca/opini/2017/08/23/politik-paranoid/

_______

Tentang Abdillah Toha politisi & intelektual

Pendidikan terakhir sarjana jurusan Commerce, lulus dengan First Class Honors dan meraih J A Wood Memorial Award pada Faculty of Economics and Commerce, University of Western Australia, bersamaan dengan Wakil Presiden RI Prof. Dr Boediono, yang lulus pada jurusan Ekonomi di Universitas yang sama pada tahun 1966. Seusai studinya, Abdillah mengajar mata pelajaran Operations Research dan melakukan riset marketing di fakultas yang sama. Abdilah juga merupakan alumnus Asia Pacific Center for Security Studies (APC-SS), Honolulu, Hawai.


Pada 1998 saat terjadi gerakan reformasi dan setelah turunnya Soeharto, bersama dengan Amien Rais, Abdillah mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN), dan menjadi salah seorang formatir pertama dan ketua DPP PAN