“Bisakah ber’qurban’ dengan uang, dan membagikannya juga dalam bentuk uang?” Pertanyaan itu langsung saya jawab, “Secara fiqih tidak sah. Karena sesuai syariat, qurban haruslah dengan menyembelih kambing, sapi atau onta.”
Pertanyaan berlanjut, “Lalu kenapa kebanyakan orang ber-zakat fitrah dengan uang?” “Padahal sesuai syariat, zakat fitrah juga tidak dengan uang, tetapi dengan bahan makanan pokok, yaitu beras, gandum, tepung, atau kurma. Apakah zakat fitrahnya juga tidak sah?” Sergah si penanya.
Saya jadi bingung dengan argumentasi itu. “Bila zakat fitrah bisa, kenapa qurban tidak?” Tanya saya dalam hati.
Sebagai ilustrasi, Idul fitri tahun ini Masjid Istiqlal Jakarta telah menerima zakat fitrah dari pemberi zakat (muzaki) sebesar Rp 400 juta dalam bentuk uang, dan hanya sekitar 4 kuintal yang berrupa beras. Panitia mengatakan 98 persen masyarakat membayar zakat fitrah dalam bentuk uang tunai.
Kemudian hasil penerimaan zakat fitrah itu sebagian dibagikan kepada para mustahik (masyarakat kurang mampu) yang datang langsung ke Masjid Istiglal pada hari terakhir Ramadhan. Dan sebagian lainnya dibagikan ke seluruh masjid dan mushola di sekitar Masjid Istiqlal, dan lembaga-lembaga sosial yang telah mengajukan proposal.
Menurut panitia, Penyaluran zakat lewat uang dianggap lebih mudah pendistribusiannya dan lebih bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan.
Nah, lalu apa beda syariat zakat fitrah dan qurban? Bukannya di zaman Rasulullah dulu tidak ada yang menunaikannya dengan uang?
Hukum qurban -- menurut Imam Nawawi, dalam kitab Al Majmu’ (8: 216) -- Para ulama berselisih pendapat mengenai wajibnya qurban bagi orang yang memiliki kelapangan rezeki. Tetapi mayoritas ulama (madzhab Syafi’i dan beberapa ulama lainnya yaitu Imam Malik, Ahmad, dan Ibnu Hazm), berpendapat bahwa hukum berqurban adalah Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). Jika seseorang meninggalkannya tanpa udzur tidaklah berdosa.
Ibnu Hazm menambahkan, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.”
Jika suatu ibadah hukumnya ‘sunah’, maka sebaiknya kita tidak ‘terlalu’ terjebak dengan aturan syariat -- karena tidak menunaikannya pun tidaklah bermasalah atau tidak berdosa. -- Tetapi alangkah eloknya bila kita juga pertimbangkan ‘makna’ dan ‘hakekat’ ibadah itu.
Bukankah HAKEKAT dari qurban adalah “pengorbanan terhadap kecintaan dan kesenangan duniawi untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt”. Ibadah qurban, sesuai historisnya nabi Ibrahim diperintah Allah untuk meyembelih (mengorbankan) Ismail, putra yang amat sangat ia cintai dan banggakan – seorang putra yang berpuluh-puluh tahun ia dambankan kehadirannya di dunia --. Karena keikhlasan Ibrahim mengikuti perintah Allah Swt, maka digantilah pengorbanan anak kesayangannya itu dengan domba.
Di masa Nabi Ibrahim, komoditas yang paling berharga adalah binatang ternak. Demikian pula di era Nabi Muhammad, sesuai kebutuhan zamannya qurban berbentuk binatang ternak merupakan manifestasi solidaritas tertinggi. Namun dalam konteks sosio-kultur masyarakat Indonesia sekarang ini pemberian daging qurban bukan lagi sesuatu yang sangat berharga. Justru yang sangat berharga bagi masyarakat kelas bawah adalah uang.
Dua tahun lalu, juga di masjid Istighlal Jakarta. Beberapa orang yang telah mendapat daging dari panitia qurban segera menjualnya kepada pengumpul daging yang berada di seputaran masjid. Ketika ditanya “kenapa dijual bu?” Si ibu itu menjawab santai, “saya lebih butuh uang pak, bukan daging. Memasak daging juga pakai uang pak, saya gak punya.”
Pernyataan si ibu penerima qurban di Masjid Istiqlal itu cukup mewakili kondisi sosial ekonomi masyarakat kelas bawah yang berada di kebanyakan pelosok pelosok desa.
Kemudian, MAKNA qurban itu sendiri mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi spiritual dan dimensi sosial. Pada dimensi SPIRITUAL, qurban bermakna pendekatan diri kepada Allah (taqwa). Dan pada dimensi SOSIAL, qurban bermakna berbagi kesejahteraan (berupa daging kurban) kepada lingkungan masyarakat kurang sejahtera.
Apabila seseorang telah melaksanakan ‘qurban’ dengan menyembelih hewan kurban, maka ia telah melaksanakan ibadah sesuai syariat (dimensi spiritual). Dan jika daging kurban itu dibagikan kepada masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi – tak pernah makan daging – maka ibadahnya mempunyai nilai tambah, yaitu nilai kemanfaatan.
‘Qurban’ akan mempunyai nilai manfaat yang lebih tinggi bila dinikmati oleh masyarakat kurang mampu dibanding jika hanya dinikmati oleh para tetangga yang sudah terbiasa makan daging.
Jika daging qurban diberikan kepada kaum dhuafa, itu namanya berbagi kebahagiaan. Tetapi bila daging itu dibagikan kepada para tetangga berkecukupan di kota, bisa jadi itu kemubaziran. Orang-orang kota banyak yang menghindari bahaya kolesterol.
Bila mempertimbangkan aspek kebutuhan dan kemanfaatan bagi penerima qurban dari kalangan masyarakat dhuafa, maka uang lebih bermanfaat dibandingkan daging.
Maka ber’qurban’ dalam bentuk uang dan membagikannya kepada masyarakat dhuafa juga dalam bentuk uang tentu mempunyai nilai lebih. Karena bila dibagikan dalam bentuk daging, maka berarti kita masih membebani mereka dengan harus mencari bumbu dan sarana untuk memasaknya, yang tentu harus pakai uang.
Perlu dikaji. Bila zakat fitrah (yang wajib) bisa berbentuk uang, bagaimana dengan ibadah qurban (yang sunah)? KENAPA TIDAK?