Tanggal 9 Dzulhijah adalah puncak ritual ibadah haji di tanah suci. Jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berkumpul di sebuah kawasan bebatuan seluas 3,5 x 5,5 km persegi, yang kita kenal sebagai padang Arafah.
Di padang tandus inilah jamaah haji memulai ritualnya dengan cara berdiam diri melakukan perenungan dan bertafakur tentang substansi kehidupannya sebagai khalifahTuhan di bumi. Perenungan yang memakan waktu sekitar 5 – 6 jam (Dzuhur sampai Maghrib) itu kita kenal sebagai ritual Wukuf.
Ia berasal dari kata Waqafa yang bermakna ‘berhenti’. Maka, Wukuf adalah ritual haji yang mengajari umat Islam untuk sejenak meninggalkan aktivitasnya selama beberapa jam itu. Berhenti dari kegiatan apapun agar bisa melakukan perenungan jati diri.
Sengaja, wukuf di Arafah itu dipilih sebagai permulaan ritual haji. Dan sekaligus sebagai puncaknya, yang tanpanya ibadah haji kita menjadi tidak syah. Begitulah Rasulullah mengajarkan kepada kita. “Tak ada haji tanpa Wukuf”, sebuah statemen yang menunjukkan betapa pentingnya ritual wukuf itu bagi jamaah haji.
Sebenarnya, tidak ada yang spesifik tentang kewajiban berwukuf, kecuali berdiam di kawasan Arafah antara waktu dzuhur sampai maghrib. Demikian pula aktivitasnya, tidak ada yang khusus, asalkan tidak keluar dari kawasan itu dan tidak melanggar ketentuan ibadah haji secara umum maka wukufnya dianggap syah. Dan, dengan sendirinya sudah memenuhi rukun haji.
Ada beberapa hikmah yang terkandung didalamnya. Namun yang utama adalah, bahwa sebelum melakukan ibadah fisik selanjutnya di dalam rukun haji, seorang muslim harus melakukan persiapan mental dan perenungan jati diri ke dalam jiwanya sendiri.
Sebenarnya, hal ini menjadi dasar bagi semua ibadah di dalam Islam. Bahwa setiap langkah ibadah kita harus berlandaskan ilmu dan niat yang benar. Yang itu hanya bisa dicapai kalau kita telah melakukan pemahaman, penghayatan dan komitmen untuk melangkah ke depan secara berkualitas. Tanpa proses semacam itu, ibadah kita tak lebih hanyalah sebuah ritual tanpa makna. Dan tak membebaskan apa apa dalam jiwa.
Semua ibadah harus dimulai dari niat. Tetapi Wukuf ini lebih mendalam sekedar niat. Karena ia berisi perenungan, pemikiran, pemahaman dan komitmen terhadap “niat”. Bukan hanya untuk keabsahan ritual haji yang sedang kita jalani, melainkan lebih jauh dari itu, untuk menjalani realitas hidup kita, sepulang dari tanah suci.
Arafah, sesuai namanya, adalah ‘Padang Pengetahuan’ tempat Nabi Adam bertaubat, dan kemudian memperoleh kalimat-kalimat ilahiyah sebagai bekal mengarungi kehidupan bumi. Dimana, ia dan anak keturunannya ditugasi sebagai khalifatu fil ardhi – pemimpin di muka bumi.
Arafah, juga menjadi titik menancapnya keyakinan Nabi Ibrahim untuk menaati perintah Allah dalam berkorban dengan penuh keikhlasan dan ketaatan kepada Allah. Disinilah, beliau meneguhkan penyerahan diri yang tiada terukur kualitasnya, dalam bentuk mengorbankan anak saleh yang sangat dicintainya, dan diharapkan menjadi penerus syiar agama Islam yang dibawanya.
Maka, Wukuf di Arafah adalah momen yang sangat penting bagi setiap jamaah haji untuk memperoleh pengampunan Allah sebagaimana Nabi Adam, dan dilanjutkan dengan komitmen berserah diri kepada Allah sebagaimana nabi Ibrahim.
Inilah ‘Padang Pengampunan’ dan ‘Padang Pencerahan’ bagi setiap diri yang ingin meningkatkan kualitas keislamannya. Padang Arafah adalah padang pengetahuan ma’rifat bagi perjalanan spiritual seorang hamba Allah yang ingin mendekatkan diri kepada- Nya.
Tidak ada haji tanpa perenungan Arafah. Tidak akan pernah ada pencapaian puncak keislaman seorang muslim, tanpa ma’rifatullah di Padang Pengetahuan ini. Karena sesungguhnya, ini baru permulaan bagi perjalanan spiritual berikutnya. Yang di dalam ritual haji disimbolkan dengan lempar jumrah di Mina, thawaf diseputar Ka’bah, dan diakhiri dengan Sa’i antara Shafa dan Marwah.
Setiap jamaah haji, atau bahkan muslim harus paham benar substansi ritual haji itu. Bukan hanya ikut-ikutan. Setiap kita harus memulai segala ritual ibadah dengan pengetahuan yang mendalam. Bukan hanya ritualnya melainkan lebih kepada substansinya. Agar kita memperoleh makna dan dampak sesungguhnya dari ibadah yang kita lakukan. Karena, jika tidak mengerti, maka ibadah haji kita itu hanya akan menjadi amalan-amalan kosong belaka.
Coba bayangkan, untuk apa kita merenung berjam-jam di dalam tenda di Padang Arafah itu jika tidak paham maksudnya. Jangan-jangan hanya akan menjadi ‘melamun berjamaah’ belaka. Atau, ada juga yang sekedar ‘ngobrol berjamaah’ karena tidak tahu apa yang harus dilakukan, setelah bosan’dipaksa melamun’ tanpa makna.
Demikian pula, ketika melempari Jamarat alias ‘Tugu Setan’ di Mina. Jika kita tidak paham maksudnya, jangan-jangan ‘ritual maut’ yang sering membawa korban jiwa itun hanya akan menjadi momen unjuk kekuatan dan kebengisan berebut tempat untuk bisa melempari tugu buatan manusia yang sekarang sudah dibuat tingkat 5 itu.
Dan tak ada bedanya, saat kita bertawaf putar-putar Ka’bah atau mondar-mandir antara Shafa dan Marwah. Jangan-jangan juga tak memberi dampak berarti buat jiwa kita, disebabkan oleh tidak pahamnya terhadap apa yang kita lakukan. Nah, semua itu harus sudah ditancapkan kuat-kuat saat kita berada di Padang Arafah. Persis seperti ketika Nabi Ibrahim memutuskan untuk melakukan perintah Allah mengorbankan anaknya, seusai melakukan perenungan di Arafah.
Karena itu, filosofi ritual haji itu sambung menyambung membentuk substansi keislaman yang utuh. Dimulai dari perenungan di Arafah yang mewujud menjadi niat kokoh untuk berkorban kepada Allah, dalam bentuk kebajikan buat sesama.
Dilanjutkan dengan melempari sifat-sifat setaniyah di dalam diri setiap kita, yang disimbolkan dengan lempar Jumrah. Sebuah sikap ‘permusuhan’ yang sangat jelas terhadap setan yang bersemayam di dalam jiwa manuisa, sejak Adam dan Hawa diciptakan Allah.
Kemudian dilanjutkan lagi dengan Tawaf mengelilingi Ka’bah sebagai ungkapan untuk memusatkan seluruh aktivitas kehidupan kita hanya kepada Allah. Bukan berputar-putar di sekitar harta benda, kukasaan, dan segala kecintaan dunia belaka. Melainkan, berpusat ke Baitullah.
Seluruh gerakan tawaf kita adalah sebuah kebersamaan hablum minan naas(hubungan antara manusia) untuk dipusatkan kepada Allah, sebagai menivestasi hablum minallah (hubungan dengan Allah). Manusia dari segala bangsa berputar-putar di sekeliling Baitullah. Tidak boleh saling mengganggu apalagi menyakiti. Sambal berdzikir hanya mengingat Allah, sebagai inti gerakan seluruh alam semesta.
Sedangkan Sa’iadalah manifestasi dari perjuangan tiada henti untuk mencapai kesuksesan dalam hidup. Sebuah kesuksesan duniawi yang kemudian dijadikan sebagai pijakan sekaligus modal untuk mencapai kebahagiaan Ukhrawi. Mengacu pada perjuanagn Siti Hajar dalam mempertahankan hidupnya dan hidup anaknya (Ismail) tanpa putus asa, sambil berserah diri kepada Allah semata. Hasilnya, Allah memberikan kesuksesan di akhir perjuangan tanpa kenal lelah itu.