Syahdan, belasan tahun yang lalu, nabi Ibrahim meninggalkan istri dan anaknya – Siti Hajar dan Ismail – di sebuah lembah di tengah-tengah perbukitan pedalaman jazirah Arab. Kemudian Ibrahim pulang ke Palestina untuk berkumpul dengan istri pertamanya, Siti Sarah. Bersama Sarah, Ibrahim lantas dikaruniai anak lagi oleh Allah, yang diberi nama Ishak.
Beberapa tahun berjalan, Ibrahim ingin menjenguk anak istri yang ditinggalkannya di kawasan padang pasir nun jauh disana. Maka, iapun menempuh jarak sekitar 1500 km dari Palestina ke cikal bakal kota Mekah itu.
Bertemu dengan anak istri yang belasan tahun ditinggalkannya, bukan main bahagia hati Ibrahim. Dipeluknya orang-orang yang dicintainya itu penuh rindu. Dan sungguh ia bangga dengan Ismail yang tumbuh sebagai remaja yang berakhlak tinggi sebagaimana ibunya, Hajar.
Ibrahim pun tinggal beberapa lama di Mekah, dan kemudian diperintah Allah untuk membangun Ka’bah – yang sudah ada pondasinya – sebagai tempat ibadah bagi manusia. Inilah rumah ibadah tertua yang pernah dibangun manusia, sebagaimana diceritakan al Qur’an.
Ibrahim kemudian memohon kepada Allah untuk ditunjukkan cara beribadah haji dan tempat-tempat yang harus dikunjunginya. Maka, Allah pun memerintahkan Ibrahim menuju Arafah bersama istri dan anaknya. Sesampai di Mina, yang berjarak sekitar 7 km dari Mekah, Ibrahim mengajak anak istrinya untuk istirahat dan bermalam di sana.
Saat itu adalah malam 8 Dzulhijah. Ibrahim bermimpi mengorbankan anaknya, Ismail. Ia tergeragab bangun dari tidurnya, dan termenung memikirkan makna mimpi yang terlihat sangat jelas itu. Sampai pagi dating ia tidak mampu memejamkan kembali. Kepikiran.
Kelak, termenungnya Ibrahim di Mina ini menjadi Hari Tarwiyah, dimana jamaah haji berkumpul dan bersiap-siap menuju Arafah. Kata “Tarwiyah” bermakna “merenung dan memikirkan”. Menunjuk kepada saat-saat awal Ibrahim memperoleh perintah lewat mimpinya, yang ia sempat termenung dan merenunginya.
Keesokan harinya keluarga Ibrahim meneruskan perjalanannya menuju padang Arafah. Ibrahim tidak bercerita apapun kepada anak dan istrinya tentang mimpinya semalam. Karena ia sendiri masih tidak tahu dan ragu-ragu tentang takwil mimpi tersebut. Apakah itu sekedar kembang tidur, godaan setan, atau perintah Allah.
Akan tetapi, mimpi yang sama ternyata datang lagi saat ia berada di Arafah, yakni pada malam 9 Dzulhijah. Ia bermimpi mengorbankan anaknya yang masih remaja: Ismail. Maka mimpi keduanya ini mengingatkannya kepada saat-saat ia masih muda, sekian puluh tahun yang lalu. Ketika ia belum punya anak.
Ibrahim adalah hamba Allah yang suka berkorban. Bukan berkorban manusia, sebagaimana penganut agama Pagan di zamannya yang membuat persembahan kepada dewa-dewa, melainkan berkorban binatang ternak dengan cara melakukan penyembelihan, dan lantas dagingnya dibagi-bagikan kepada masyarakat fakir miskin di sekitarnya.
Suatu ketika Ibrahim usai berkorban ratusan binatang ternak, ia berdoa kepada Allah. Bahwa segala pengorbanan itu adalah bentuk pengabdian dan ketaatannya kepada Sang Pemberi Rezeki. Dagingnya untuk para fakir miskin, dan niat baiknya menjadi wujud ketaqwaannya kepada Allah.
Dan diakhir doanya itu, Ibrahim sempat mengungkapkan ikrar ketaqwaannyakepada Allah. Yakni, seandainya Allah memerintahkan kepadanya untuk berkorban lebih besar dari semua itu, Ibrahim akan dengan taat menjalankannya.
Rupanya, ikrar ketaatan Ibrahim dimasa muda itulah yang kini ditagih Allah. Sang Maha Bijaksana itu berkehendak menguji Ibrahim, untuk membuktikan ketaatan dan ketulusannya dalam menyembah Allah. Benarkah ia akan mengorbankan apa saja yang dicintainya untuk Allah?
Maka, Allah pun meminta korban yang bukan main beratnya. Sebuah ujian yang hampir-hampir tidak masuk akal. Bukan disuruh korban binatang ternak yang sudah biasa ia lakukan, melainkan mengorbankan anaknya sendiri, yang begitu dicintainya. Anak yang sudah digadang-gadangnya sejak lama, karena sampai diusia 80-an tahun ia dan istrinya – Sarah – belum juga dikaruniai anak. Dan kemudian anak itu baru diperolehnya setelah ia menikahi Hajar atas saran Sarah.
Setelah anak bernama Ismail itu lahir, Ibrahim sudah diuji oleh Allah untuk meninggalkannya di padang tandus di pedalaman jazirah Arab yang berjarak sekitar 1500 km dari rumahnya di Palestina. Iapun dengan taatnya memenuhi perintah itu.
Kini belasan tahun kemudian, ketika ia berkunjung ke padang pasir yang sudah berubah menjadi kota Bakkah (Mekah) itu, Ibrahim diuji kembali oleh Allah, Sang Maha Berilmu, untuk mengorbankan dengan cara menyembelihnya seperti binatang ternak. Bukan main gundahnya perasaan Ibrahim. Ia sempat ragu karenanya.
Mimpi di kawasan Mina di hari Tarwiyah itu belum dipercayainya. Ia meragukan, bahwa perintah itu dating dari Allah. Karena Allah adalah Dzat Yang Maha Penyayang, tak pernah menganiaya hamba-hamba-Nya.
Tapi keraguannya itu mulai luntur ketika ia bermimpi untuk kedua kalinya. Mimpi itu datang pada saat Ibrahim bermalam di Arafah, tanggal 9 Dzulhijah. Ia tergeragab kembali, terbangun dari tidurnya. Dan seperti malam sebelumnya, ia tidak bisa memejamkan matanya kembali sampai pagi.
Tak kuat rasanya ia memendam sendirian. Ingin diceritakannya kepada anak istrinya beban yang berat menghimpit itu. Tetapi ia menahan diri sampai siang datang menjelang. Dalam kegundahan itu, Ibrahim memutuskan untuk tidak menceritakan dulu kepada mereka, melainkan akan terlebih dahulu mohon petunjuk kepada Allah.
Ibrahimpun menghentikan segala aktivitasnya, melakukan Wukuf di dalam tenda sambil memohon petunjuk kepada-Nya. Ia berkontemplasi, berdzikir, dan berdoa sepanjang siang hari hingga sore, menjelang matahari tenggelam.
Ia dapatkan rasa tenteram, dan menjadi lebih tenang karenanya. Hatinya menjadi lebih jernih dalam menangkap tanda-tanda dari Allah. Dan iapun memohon kepada-Nya untuk memperjelas perintah itu agar ia mantab dan tidak ragu-ragu dalam menjalaninya.
Maka, memasuki malam 10 Dzulhijah itu Ibrahim bermimpi kembali seperti mimpi-mimpi malam sebelumnya. Ia diperintahkan untuk mengorbankan anaknya sebagai bukti ketaatanya kepada Allah. Ibrahimpun menjadi yakin atas mimpinya. Bahwa itu adalah perintah dan ujian dari Sang Maha Penguasa. Ia benar-benar diuji oleh Tuhannya.
Akhirnya ia memutuskan untuk melaksanakan perintah Allah itu keesokan harinya. Sehingga tanggal 10 Dzulhijah dikenal sebagai Hari Nahar alias Hari Berkorban. Sedangkan tanggal 9 Dzulhijah dikenal sebagai Hari Arafah alias Hari Pengetahuan dimana Ibrahim memperoleh pencerahan atas makna ujian yang diberikan Allah kepadanya.
Malam itu, Ibrahim melanjutkan perjalanan meninggalkan Arafah menuju ke Mina. Tengah malam ia dan keluarganya berhenti di Muzdalifah. Saat itulah Ibrahim mulai diganggu dan dirayu oleh setan, agar membatalkan keputusannya mengorbankan Ismail. Tapi, Ibrahim dudah mantab hati, dan teguh pada keyakinannya untuk melaksanakan perintah Allah pada keesokan harinya.
Ibrahim lantas mengambil sejumlah batu untuk mengusir setan yang menghalanginya. Bagi jamaah haji kini, malam hari di Muzdalifah itu, disunahkan mengambil batu kerikil untuk melempar jumrah keesokan harinya, sebagai simbol menghalau setan.
Ibrahim dan keluarganya menuju ke sebuah bukit yang kelak dikenal sebagai Jabal Qurban alias Bukit Korban, dimana Ibrahim akan melaksanakan perintah Allah mengurbankan Ismail. Iapun minta ijin kepada Hajar untuk naik bukit, sedangkan Hajar diminta untuk menunggu di bawah.
Dalam perjalanan ke atas bukit di Mina itulah Ibrahim dan Ismail dihadang oleh setan, lagi-lagi untuk merayu agar membatalkan niat kurban itu. Tetapi, Ibrahim sekali lagi melemparinya dengan bebatuan sampai setan itu pergi. Dan begitulah lagi sampai kali yang ketiga. Kelak, pelemparan batu terhadap setan itu dikenang sebagai lempar Jumrah. Yakni Jumrah Aqabah, Jumar Wustho dan Jumlah Ula.
Sesampai di atas bukit, barulah Ibrahim menceritakan kepada Ismail tentang mimpinya yang dating berturut-turut dalam tidurnya selama tiga hari. Betapa beratnya pergulatan batin yang terjadi dalam menyikapi perintah yang sangat berat itu. Dan bagaimana akhirnya dia memutuskan utnuk membenarkan mimpi tersebut sebagai ujian yang dating dari Allah.
Cerita itu dibadikan Allah dalam firman-firman-Nya pada QS. Ash Shafaat (37) ayat 100-110. QS.37:100. "Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. ; 37:101. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. ; 37:102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". ; 37:103. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). ; 37:104. Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, ; 37:105. sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu", sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. ; 37:106. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. ; 37:107. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. ; 37:108. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, ; 37:109. (yaitu) "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim". ; 37:110. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Sebuah dialog yang sangat menyentuh hati, antara seorang Ibrahim yang Saleh dengan anaknya – Ismail - yang santun dan penyabar. Keduanya diabadikan-Nya sampai akhir zaman sebagai ikon hamba yang berserah diri kepada-Nya.
Keluarga Ibrahim adalah keluarga teladan yang kisahnya diabadikan Allah sampai akhir zaman. Khususnya, berupa ritual haji yang bermula dari Arafah dan kemudian berakhir di bukit Marwah, di Mekah.
Sebagimana telah kita ketahui, rumah tinggal mereka adalah di Mekah. Kemudian, diperintahkan Allah untuk berjalan menuju ke Arafah – Mina – Mekah, ketika mereka berdoa memohon petunjuk cara ibadah terkait dengan Ka’bah yang baru mereka bangun.
Di Arafah mereka mendapat pencerahan, di Mina menerima ujian untuk berkorban, dan di Mekah mereka berthawaf di sekita Ka’bah serta menutupnya dengan sa’I antara Shafa-Marwah.
----- ----- -----
* disadur dari buku Ma’rifat di Padang Arafah, oleh Agus Mustofa