Di era otonomi daerah, program Kependudukan Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) di tingkat Kabupaten/Kota memang menjadi kewenangan daerah bahkan menjadi urusan wajib sesuai dengan amanat PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Oleh sebab itu, daerah memiliki keleluasaan untuk mengembangan program KKBPK ini agar lebih berhasil dan bermanfaat bagi orang banyak.
Keberhasilan program KKBPK ini dapat dilihat dari 3 aspek: pertama, dari aspek pengendalian kuantitas penduduk, kedua, dari aspek peningkatan kualitas penduduk yang dalam hal ini diukur dengan peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarganya. Peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga dapat ditelusur melalui berbagi indikator yang merupakan pencerminan dari pelaksanaan 8 fungsi keluarga sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 87 Tahun 2014tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana dan Sistem Informasi Keluarga.
Dalam PP tersebut disebutkan bahwa 8 fungsi keluarga meliputi: (1) fungsi keagamaan, (2) fungsi social budaya, (3) fungsi cinta kasih, (4) fungsi perlindungan, (5) fungsi reproduksi, (6) fungsi sosialisasi dan pendidikan, (7) fungsi ekonomi dan (8) fungsi pembinaan lingkungan.
Namun demikian, meskipun menjadi kewenangan daerah, dalam pelaksanaannya, arah program KKBPK tetap harus mengacu pada kebijakan BKKBN Pusat sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan program KKBPK secara nasional. Sehingga semua daerah diharapkan dapat saling bersinergi dalam mencapai keberhasilan program KKBPK secara umum.
Untuk diketahui bahwa dalam Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga dijelaskan bahwa Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memiliki tugas melaksanakan Pengendalian Penduduk dan menyelenggarakan Keluarga Berencana.
Berdasarkan pasal 56 ayat (2) BKKBN memiliki 6 (enam) fungsi diantaranya BKKBN memiliki fungsi dalam perumusan kebijakan nasional. Oleh karenanya BKKBN menyusun Rencana Strategis (Renstra) BKKBN 2015-2019yang ditetapkan melalui Peraturan Kepala BKKBN Nomor : 212 /PER/B1/2015 sebagai panduan bagi Pemerintah Kabupaten/Kota agar tidak salah arah atau kurang mendukung kebijakan nasional dalam pengendalian penduduk dan pembangunan keluarga. Renstra BKKBN Tahun 2015-2019 dimaksudkan sebagai dokumen perencanaan dan acuan penganggaran Program KKBPK yang harus diikuti oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Renstra BKKBN 2015-2019 itu sendiri berisi tentang sasaran, kebijakan strategi program serta kegiatan-kegiatan dalam penguatan pembangunan bidang Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana yang sesuai dengan tugas dan fungsi BKKBN sebagaimana yang telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 2013 - perubahan ketujuh atas Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata kerja Lembaga Pemerintah Non Kementerian dan berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Selain itu, penyusunan Renstra BKKBN 2015-2019 juga mengacu pada arah kebijakan yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005 - 2025 sesuai Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2015 serta sesuai dengan arah pembangunan Pemerintahan periode 2015-2019 dimana BKKBN merupakan salah satu Kementerian/Lembaga (K/L) yang diberi mandat untuk mewujudkan Agenda Prioritas Pembangunan (Nawacita), terutama pada Agenda Prioritas nomor 5 (lima) yaitu “Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia” melalui “Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Berencana”.
Kemudian di dalam Strategi Pembangunan Nasional 2015-2019 (Dimensi Pembangunan), BKKBN berada pada Dimensi Pembangunan Manusia, yang didalamnya berperan serta pada upaya mensukseskan Dimensi Pembangunan Kesehatan serta Mental/Karakter (Revolusi Mental). BKKBN bertanggung jawab untuk meningkatkan peran keluarga dalam mewujudkan revolusi mental.
Nawa Cita sendiri merupakan agenda prioritas Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla setelah terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Sembilan program itu disebut Nawa Cita. Program ini digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
2. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.
3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
4. Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program "Indonesia Pintar"; serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program "Indonesia Kerja" dan "Indonesia Sejahtera" dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 hektar, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019.
6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.
7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
8. Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia.
9. Memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.
Sesuai amanat Undang - Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, penduduk harus menjadi titik sentral dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan terencana di segala bidang untuk menciptakan perbandingan ideal antara perkembangan kependudukan dengan daya dukung dan daya tamping lingkungan serta memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengurangi kemampuan dan kebutuhan generasi mendatang, sehingga menunjang kehidupan bangsa.
Dua hal pokok yang perlu diperhatikan dalam membahas integrasi penduduk dan pembangunan, yaitu: 1) penduduk tidak hanya diperlakukan sebagai obyek tetapi juga subyek pembangunan.
Paradigma penduduk sebagai obyek telah mengeliminir partisipasi penduduk dalam pembangunan, 2) ketika penduduk memiliki peran sebagai subyek pembangunan, maka diperlukan upaya pemberdayaan untuk menyadarkan hak penduduk dan meningkatkan kapasitas penduduk dalam pembangunan. Hal ini menyangkut “pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas”.
Selanjutnya, terkait dengan integrasi penduduk dengan pembangunan 2diperlukan penguatan kebijakan dalam pembangunan berwawasan kependudukan.
Secara garis besar, pembangunan berwawasan kependudukan adalah pembangunan yang disesuaikan dengan potensi dan kondisi penduduk yang ada, dimana penduduk harus dijadikan titik sentral dalam proses pembangunan, penduduk harus dijadikan subyek dan obyek dalam pembangunan, dimana pembangunan dilaksanakan oleh penduduk dan untuk penduduk. Pembangunan berwawasan kependudukan merupakan pembangunan dari sisi peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Untuk mendukung pelaksanaan pembangunan yang berwawasan kependudukan, maka BKKBN turut memperkuat pelaksanaan pembangunan kependudukan dengan upaya pengendalian kuantitas dan peningkatan kualitas penduduk dan mengarahkan persebaran penduduk. Pembangunan kependudukan juga merupakan upaya untuk mewujudkan keserasian kondisi yang berhubungan dengan perubahan keadaan penduduk yang dapat berpengaruh dan dipengaruhi oleh keberhasilan pembangunan berkelanjutan.
Upaya pengendalian pertumbuhan penduduk dilakukan melalui Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) dalam rangka mewujudkan norma keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera, serta diharapkan juga dapat memberikan kontribusi terhadap perubahan kuantitas penduduk yang ditandai dengan perubahan jumlah, struktur, komposisi dan persebaran penduduk yang seimbang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Perjalanan pergeseran distribusi umur penduduk dan penurunan rasio ketergantungan penduduk muda (youth dependency ratio) di Indonesia membentuk keadaan ideal yang menghasilkan potensi terjadinya bonus demografi, di mana jumlah penduduk usia kerja hampir dua kali dibandingkan dengan jumlah penduduk di bawah 15 tahun.
Rasio ketergantungan penduduk Indonesia telah menurun dari 54/100 pada tahun 2000 menjadi 51/100 pada tahun 2011 dan turun menjadi 50/100 tahun 2012. Kondisi ini akan menurun terus mencapai angka terendah pada tahun 2020 sampai 2030, di mana angkanya berkisar 44 per 100, dengan catatan pembangunan Bidang Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana dapat dilaksanakan dengan lebih baik lagi.
Bonus demografi, jika dimanfaatkan akan menghasilkan jendela peluang atau window of opportunity untuk memicu pertumbuhan ekonomi termasuk peningkatan ketahanan pangan dalam rangka kemandirian bangsa.
Pada saat bersamaan akan menghasilkan kualitas penduduk usia produktif yang tinggi sehingga menjadi modal pembangunan bangsa dengan karakter keuletan dan ketangguhan sebagai unsur utama dalam mewujudkan ketahanan nasional guna mengantisipasi berbagai ancaman baik dari luar maupun dari dalam.
Berdasarkan uraian di atas diperlukan kebijakan, strategi, dan upaya yang optimal dalam pemanfaatan peluang bonus demografi tersebut melalui Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK), terutama melalui upaya pencapaian target/sasararan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 untuk menurunkan laju pertumbuhan penduduk (LPP), angka kelahiran total (TFR), meningkatkan pemakaian kontrasepsi (CPR), menurunnya kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi (unmet need), menurunnya Angka kelahiran pada remaja usia 15-19 tahun (ASFR 15 – 19 tahun), serta menurunnya kehamilan yang tidak diinginkan dari WUS (15-49 tahun).
Beberapa isu strategis dan permasalahan pengendalian kuantitas penduduk, yang harus mendapat perhatian khusus adalah sebagai berikut:
Pertama, Penguatan Advokasi dan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) tentang Program Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) pelaksanaannya masih dihadapkan dengan beberapa permasalahan antara lain: (1) masih lemahnya komitmen dan dukungan stakeholders terhadap program KKBPK, yaitu terkait kelembagaan, kebijakan, perencanaan program dan penganggaran; (2) masih tingginya jumlah anak yang diinginkan dari setiap keluarga, yaitu sekitar 2,7 sampai dengan 2,8 anak atau di atas angka kelahiran total sebesar 2,6 (SDKI 2012), angka ini tidak mengalami penurunan dari tahun 2002 (TFR 2,6; SDKI 2002-2003); (3) pelaksanaan advokasi dan KIE belum efektif, ditandai dengan pengetahuan tentang KB dan alat kontrasepsi sangat tinggi (98% dari Pasangan Usia Subur/PUS), namun tidak diikuti dengan perilaku untuk menjadi peserta KB 57,9% (SDKI 2012). Disamping itu, masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang isu kependudukan, hanya sebesar 34,2 persen (Data BKKBN 2013); (4) masih terjadinya kesenjangan dalam memperoleh informasi tentang program KKBPK baik antar provinsi, antara wilayah perdesaan - perkotaan maupun antar tingkat pendidikan dan pengeluaran keluarga; (5) pelaksanaan advokasi dan KIE mengenai KB yang belum responsif gender, tergambar dengan masih dominannya peran suami dalam pengambilan keputusan untuk ber-KB; (6) muatan dan pesan dalam advokasi dan KIE belum dipahami secara optimal; serta (7) peran bidan dan tenaga lapangan KB dalam konseling KB belum optimal. Berdasarkan data SDKI 2012, hanya sebesar 5,2 persen wanita kawin yang dikunjungi petugas lapangan KB dan berdiskusi tentang KB, sedangkan 88,2 persen wanita kawin tidak berdiskusi tentang KB dengan petugas KB atau provider.
Kedua, Peningkatan Akses dan Kualitas Pelayanan KB yang Merata untuk dapat mengatasi permasalahan pelayanan KB, antara lain: (1) Angka pemakaian kontrasepsi cara modern tidak meningkat secara signifikan, yaitu dari sebesar 56,7 persen pada tahun 2002 menjadi sebesar 57,4 persen pada tahun 2007, dan pada tahun 2012 meningkat menjadi sebesar 57,9 persen; (2) Kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi (unmet need) masih tinggi, yaitu sebesar 8,5 persen atau 11,4 persen apabila dengan menggunakan metode formulasi baru; (3) Masih terdapat kesenjangan dalam kesertaan ber-KB (contraceptive prevalence rate/CPR) dan kebutuhan ber-KB yang belum terpenuhi (unmet need), baik antar provinsi, antar wilayah, maupun antar tingkat pendidikan, dan antar tingkat pengeluaran keluarga; (4) Tingkat putus pakai penggunaan kontrasepsi (drop out) masih tinggi, yaitu 27,1 persen; (5) Penggunaan alat dan obat Metode Kontrasepsi Jangka Pendek (non MKJP) terus meningkat dari 46,5 persen menjadi 47,3 persen (SDKI 2007 dan 2012), sementara Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) cenderung menurun, dari 10,9 persen menjadi 10,6 persen (atau 18,3 persen dengan pembagi CPR modern); (6) rendahnya kesertaan KB Pria, yaitu sebesar 2,0 persen (SDKI 2007 dan 2012); (7) kualitas pelayanan KB (supply side) belum sesuai standar, yaitu berkaitan dengan ketersediaan dan persebaran fasilitas kesehatan/klinik pelayanan KB, ketersediaan dan persebaran tenaga kesehatan yang kompeten dalam pelayanan KB, kemampuan bidan dan dokter dalam memberikan penjelasan tentang pilihan metode KB secara komprehensif termasuk mengenai efek samping alokon dan penanganannya, serta komplikasi dan kegagalan. Selanjutnya yang berkenaan dengan ketersediaan dan distribusi alokon di fasilitas kesehatan (faskes)/klinik pelayanan KB (supply chains); (8) Jaminan pelayanan KB belum seluruhnya terpetakan pada fasilitas pelayanan KB, terutama dalam rangka pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Kesehatan.
Ketiga, Peningkatan pemahaman dan kesadaran remaja mengenai kesehatan reproduksi dan penyiapan kehidupan berkeluarga sangat penting dalam upaya mengendalikan jumlah kelahiran dan menurunkan resiko kematian Ibu melahirkan. Permasalahan kesehatan reproduksi remaja, antara lain: (1) Angka kelahiran pada perempuan remaja usia 15-19 tahun masih tinggi, yaitu 48 per 1.000 perempuan usia 15-19 tahun (SDKI 2012), dan remaja perempuan 15-19 tahun yang telah menjadi ibu dan atau sedang hamil anak pertama meningkat dari sebesar 8,5 persen menjadi sebesar 9,5 persen (SDKI 2007 dan SDKI 2012) ; (2) Masih banyaknya perkawinan usia muda, ditandai dengan median usia kawin pertama perempuan yang rendah yaitu 20,1 tahun (usia ideal pernikahan menurut kesehatan reproduksi adalah 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi pria); (3) terdapat kesenjangan dalam pembinaan pemahaman remaja tentang Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yang tergambar pada tingkat kelahiran remaja (angka kelahiran remaja kelompok usia 15-19 tahun); (4) Tingginya perilaku seks pra nikah di sebagian kalangan remaja, berakibat pada kehamilan yang tidak diinginkan masih tinggi; (5) Pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi dan perilaku beresiko masih rendah; serta (6) Cakupan dan peran Pusat Informasi dan Konseling Remaja/Mahasiswa (PIK R/M) belum optimal. d. Pembangunan keluarga melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga yang ditandai dengan peningkatan pemahaman dan kesadaran fungsi keluarga.
Dalam rangka pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga melalui pembinaan kelestarian kesertaan ber-KB masih dihadapkan pada beberapa permasalahan, antara lain: (1) Masih tingginya jumlah keluarga miskin, yaitu sebesar 43,4 persen dari sebanyak 64,7 juta keluarga Indonesia (Keluarga Pra Sejahtera/KPS sebesar 20,3 persen dan Keluarga Sejahtera I/KS-1 sebesar 23,1 persen (Pendataan Keluarga, BKKBN 2012); (2) Pengetahuan orang tua mengenai cara pengasuhan anak yang baik dan tumbuh kembang anak masih rendah; (3) Partisipasi, pemahaman dan kesadaran keluarga/orang tua yang memiliki remaja dalam kelompok kegiatan pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga masih rendah; (4) Kualitas hidup Lanjut usia (lansia) dan kemampuan keluarga dalam merawat lansia masih belum optimal; (5) Terbatasnya akses keluarga dan masyarakat untuk mendapatkan informasi dan konseling ketahanan dan kesejahteraan keluarga; (6) Pelaksanaan program ketahanan dan kesejahteraan keluarga akan peran dan fungsi kelompok kegiatan belum optimal dalam mendukung pembinaan kelestarian kesertaan ber-KB. Disamping itu, Kelompok Kegiatan/Poktan, yang terdiri dari: Bina Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Remaja (BKR), Bina Keluarga Lansia (BKL) dan Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) belum optimal dalam memberikan pengaruh kepada masyarakat akan pentingnya ber-KB/pelestarian Peserta KB Aktif (PA); dan (7) Terbatasnya materi program KKBPK dalam kelompok kegiatan serta terbatasnya jumlah dan kualitas kader/tenaga kelompok kegiatan.
Keempat, . Penguatan landasan hukum dalam rangka optimalisasi pelaksanaan pembangunan bidang Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB). Penguatan landasan hukum dan penyerasian kebijakan pembangunan bidang KKB memiliki beberapa permasalahan, antara lain: (1) Landasan hukum dan penyerasian kebijakan pembangunan bidang KKB belum memadai, yaitu masih terdapat beberapa peraturan pemerintah dari UU nomor 52 tahun 2009 yang belum disusun dan ditetapkan, dan masih banyak kebijakan pembangunan sektor lain yang tidak sinergi dengan pembangunan bidang KKB; (2) Komitmen dan dukungan pemerintah pusat dan daerah terhadap kebijakan pembangunan bidang KKB masih rendah, yaitu kurangnya pemahaman pemerintah pusat dan daerah tentang program KKBPK, dan belum semua kebijakan perencanaan program dan penganggaran yang terkait dengan bidang KKB dimasukan dalam perencanaan daerah, serta peraturan perundangan yang belum sinergis dalam penguatan kelembagaan pembangunan bidang KKB; dan (3) Koordinasi pembangunan bidang KKB dengan program pembangunan lainnya masih lemah (antara lain; koordinasi dengan program bantuan pemerintah seperti Program Keluarga Harapan/PKH, Jamkesmas/Jamkesda, Jampersal, PNPM, dan SJSN Kesehatan), serta penanganan kebijakan pembangunan bidang KKB selama ini masih bersifat parsial.
Kelima, . Penguatan Data dan Informasi Kependudukan, KB dan KS. Terdapat beberapa sumber data pembangunan kependudukan, KB dan KS, diantaranya administrasi kependudukan yang mencatat registrasi pendudukan dan registrasi vital; sensus penduduk dan beberapa survei terkait bidang kependudukan dan KB; serta data sektoral pembangunan kependudukan dan KB termasuk data - data kajian dan evaluasi pembangunan Kependudukan dan KB. Data Sektoral memegang peranan penting dalam penyusunan rencana, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan bidang KKB. Namun, data sektoral yang diperoleh melalui statistik rutin pendataan kependudukan, KB, dan keluarga belum dapat digunakan secara optimal dalam pengawasan, pemantauan, pengendalian dan evaluasi program KKBPK, dikarenakan sistem pengolahan data masih kurang berkualitas.
Beberapa permasalahan diatas memberikan informasi yang cukup mendalam tentang pencapaian Program KKBPK secara nasional selama lima tahun terakhir (Renstra BKKBN 2010-2014), dan telah dijadikan bahan pertimbangan dalam merumuskan arah kebijakan dan strategi dalam Renstra BKKBN 2015-2019.
Sesuai dengan arah kebijakan Pemerintah (Kabinet Kerja) 2015-2019, seluruh Kementerian/Lembaga diarahkan untuk turut serta mensukseskan Visi dan Misi Pembangunan 2015-2019, dimana Visi Pemerintah untuk 5 (lima) tahun kedepan adalah untuk mewujudkan “Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian berlandaskan Gotong Royong” dengan misi: 1) Mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim, dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan, 2) Mewujudkan masyarakat maju, berkeseimbangan dan demokratis berlandaskan Negara Hukum, 3) Mewujudkan politik luar negeri bebas aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim, 4) Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera, 5) Mewujudkan Indonesia yang berdaya saing, 6) Mewujudkan Indonesia menjadi Negara maritim yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional, dan 7) Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.
Visi dan Misi Pembangunan tersebut di dukung oleh 9 (sembilan) Agenda Prioritas Pembangunan (Nawa Cita), BKKBN diharapkan dapat berpartisipasi dalam mensukseskan Agenda Prioritas ke 5 (lima), untuk “Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia”, Salah satu prioritas pembangunan nasional di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2010-2025 adalah mewujudkan penduduk tumbuh seimbang.
Sehingga BKKBN berkomitmen akan turut mensukseskan Agenda Prioritas No.5 (didalam Nawa Cita), untuk mendukung peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia dengan menjadi “Lembaga yang handal dan dipercaya dalam mewujudkan Penduduk Tumbuh Seimbang dan Keluarga Berkualitas”, pertumbuhan penduduk yang seimbang dan keluarga berkualitas ditandai dengan menurunnya Total Fertility Rate (TFR) menjadi 2,1 dan Net Reproductive Rate (NRR) = 1 pada tahun 2025, serta keluarga berkualitas ditandai dengan keluarga yang terbentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri dan memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam mendukung upaya perwujudan visi pembangunan 2015-2019 diatas, BKKBN memiliki misi: 1) Mengarusutamakan Pembangunan Berwawasan Kependudukan, 2) Menyelenggarakan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, 3) Memfasilitasi Pembangunan Keluarga, 4) Membangun dan menerapkan Budaya Kerja Organisasi secara konsisten, serta 5) Mengembangkan jejaring Kemitraan dalam pengelolaan Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga.
Sasaran strategis BKKBN 2015 - 2019 yang tertera pada Renstra BKKBN 2015-2019 dalam upaya untuk mencapai tujuan utama, sebagai berikut:
1. Menurunnya Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP)
2. Menurunnya Angka kelahiran total (TFR) per WUS (15 - 49 tahun)
3. Meningkatnya pemakaian kontrasepsi (CPR)
4. Menurunnya kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi (unmet need)
5. Menurunnya Angka kelahiran pada remaja usia 15 -19 tahun (ASFR 15 – 19 tahun)
6. Menurunnya kehamilan yang tidak diinginkan dari WUS (15 – 49 tahun)
2. Menurunnya Angka kelahiran total (TFR) per WUS (15 - 49 tahun)
3. Meningkatnya pemakaian kontrasepsi (CPR)
4. Menurunnya kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi (unmet need)
5. Menurunnya Angka kelahiran pada remaja usia 15 -19 tahun (ASFR 15 – 19 tahun)
6. Menurunnya kehamilan yang tidak diinginkan dari WUS (15 – 49 tahun)
Demikian gambaran arah Program KKBPK Tahun 2015-2019 di tingkat pusat yang harapannya dapat diimplementasikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sehingga dapat bersinergi untuk mendukung Visi dan Misi Pemerintah pada umumnya dan Visi dan Misi BKKBN Pada khususnya.
Drs. Mardiya
Ka Sub Bid Advokasi Konseling dan Pembinaan KB dan Kesehatan Reproduksi pada BPMPDPKB Kabupaten Kulon Progo.
Drs. Mardiya
Ka Sub Bid Advokasi Konseling dan Pembinaan KB dan Kesehatan Reproduksi pada BPMPDPKB Kabupaten Kulon Progo.
http://yogya.bkkbn.go.id/_layouts/mobile/dispform.aspx?List=8c526a76-8b88-44fe-8f81-2085df5b7dc7&View=69dc083c-a8aa-496a-9eb7-b54836a53e40&ID=302