Monday, December 11, 2017

Negeri Kita Semakin (Tidak) Makmur ?

Perdebatan masyarakat awam tentang tingkat kemakmuran negeri kita terjadi di mana-mana dan tak kunjung selesai dengan satu kesepahaman.  Ada yang menilai bahwa negeri kita semakin makmur, indikasinya: mal-mal semakin banyak berdiri, jumlah kendaraan terus bertambah, perumahan-perumahan muncul di mana-mana, demikian pula rumah-rumah di desa banyak yang dibangun ala minimalis.  Bahkan masyarakat di pelosok-pelosok desapun banyak yang telah memiliki motor dan tidak asing lagi dengan handphone.

Namun sebagian lain berpendapat sebaliknya, jaman sekarang hidup semakin susah, mencari pekerjaan semakin sulit, pengangguran semakin banyak, para sarjana sulit mendapatkan pekerjaan, membuka usaha tidak semudah dulu, pedagang kaki lima pada digusur, banyak yang lari ke LN menjadi TKI, dan sebagainya.  Perbedaan pandangan seperti itu tentu wajar terjadi dan cukup beralasan, tergantung dari sudut mana mereka memandang. Berbagai pandangan itu tidak lepas dari pengaruh lingkungan, pengalaman dan pengetahuan yang berbeda satu sama lain.

Lantas bagaimana sesungguhnya tingkat kemakmuran negeri kita ini?.  Penulis mencoba memberikan pandangan berdasarkan data dan kajian.  Setidaknya ada empat parameter untuk menilai tingkat kemakmuran suatu masyarakat bangsa, yaitu: (1) pendapatan perkapita, (2) koefisien gini (3) data kemiskinan, dan (4) indek pembangunan manusia (IPM).

1.   Pendapatan Per Kapita.

Pendapatan per kapita adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk di suatu negara selama satu tahun.  Besaran pendapatan per kapita dapat dihitung dengan cara membagi besarnya pendapatan nasional atau Pendapatan Domestik Bruto (PDB) suatu negara dengan jumlah penduduk negara yang bersangkutan.  Pendapatan per kapita merupakan ukuran paling sederhana untuk merepresentasikan tingkat kesejahteraan dan tingkat pembangunan sebuah negara.  Semakin besar pendapatan per kapitanya, semakin makmur negara tersebut. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2016 mencapai Rp 12.406,8 triliun (US$ 932,6 miliar) dan Pendapatan per Kapita mencapai Rp 47,96 juta/tahun (senilai US$ 3.605).   Jadi pendapatan rata-rata penduduk Indonesia per bulan di tahun 2016 sebesar Rp 4 juta.

International Monetary Fund dalam laporannya yang dirilis akhir tahun lalu menyebutkan pendapatan perkapita Indonesia per Oktober 2017 sebesar US$ 13.120  jauh berada dibawah Singapura (US$ 93.680), Brunei (US$ 77.700), dan Malaysia (US$ 30.430). Namun sedikit diatas Filipina (US$ 8.780) dan Vietnam (US$ 7.380).   Dari sebelas negara yang ada di Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat kelima, dibawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia dan Thailand.  Namun berada di atas Filipina, Vietnam, Laos, Myanmar, Timor Leste dan Kamboja.

2.   Koefisien Gini

Koefisien Gini atau Gini Ratio merupakan indeks yang digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan antara penduduk miskin dan penduk kaya pada sebuah negara.  Gini ratio dikembangkan oleh statistikus Italia, Corrado Gini, dan dipublikasikan pada tahun 1912 dalam karyanya, Variabilit e mutabilit.  Perhitungan koefisien gini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variable tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk.

Besaran angka koefisien gini berkisar antara 0 hingga 1. Semakin besar angka koefisien gini maka semakin besar tingkat ketimpangan/kesenjangan kekayaan penduduk.  Angka 0 berarti menunjukkan pemerataan sempurna, sedangkan angka 1 berarti menunjukkan ketimpangan yang sempurna.  Di seluruh dunia, angka koefisien kesenjangan pendapatan ini bervariasi dari 0.25 (Denmark) hingga 0.70 (Namibia).


Berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2016, Indek Gini Ratio di Indonesia berada di angka 0,397. Proporsi masyarakat Indonesia dengan kekayaan kurang dari US$ 10.000 mencapai 84,30%, sedangkan kekayaan lebih dari US$ 1 juta hanya 0,1%.  Besarnya kesenjangan juga terlihat pada penguasaan orang-orang kaya di sektor perbankan. Dana bank di Indonesia didominasi oleh pemilik rekening di atas Rp 2 miliar. Hampir 98 persen jumlah rekening di bank dimiliki oleh nasabah dengan jumlah tabungan di bawah Rp 100 juta.

Ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk paling buruk di dunia. Berdasarkan survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, 10 persen orang kaya menguasai sekitar 77 persen dari seluruh kekayaan aset dan keuangan di negara ini. Kalau dipersempit lagi, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional .  Kondisi ini hanya lebih baik dibanding Rusia, India, dan Thailand.  Berdasar laporan Credit Suisse, kekayaan rata-rata orang dewasa  Indonesia yang mencapai $10.772 dan menempati peringkat ke-4 kawasan ASEAN. Sedangkan peringkat tertinggi adalah Singapura ($276.885), dan terendah Myanmar yang hanya $2.221.

Namun dalam ketimpangan kekayaan di ASEAN, Indonesia menempati peringkat kedua dibawah Thailand. Thailand adalah negara paling tinggi ketimpangan kepemilikan kekayaannya. Sedangkan negara ASEAN paling merata kepemilikan kekayaannya adalah Brunei dengan Indeks Gini mencapai 68%.  Data Kementerian Keuangan menunjukkan, selama 10 tahun terakhir, ketimpangan pendapatan di indonesia berkisar antara 0,32 sampai dengan 0,41. Meski meningkat, ketimpangan pendapatan masyarakat ini masih berada pada tahap sedang (berada di rentang 0,3-0,5).

Secara teori ekonomi dalam sebuah negara berkembang, bahwa 80% kekayaan di seluruh negeri hanya dikuasai oleh tak lebih dari 20% penduduknya saja. sementara 20% kekayaan selebihnya harus dibagi-bagi ke sisanya yang 80% penduduk. Namun kenyataan di Indonesia menyimpang jauh. Menurut ketua MPR, Zulkifli Hasan kesenjangan sosial di Indonesia sangat tinggi sekali. Hal ini terjadi akibat distribusi kekayaan negara yang sangat timpang dan tidak adil di Indonesia. Separuh lebih (85%) kekayaan bangsa Indonesia hanya dikuasai dan dikendalikan oleh segelintir orang (23 konglomerat) yang masing-masing memiliki perusahaan raksasa di Indonesia.

Sedangkan Sekjen PBNU, Helmy Faishal Zaini juga mengungkapkan bahwa jumlah dana yang berputar di Indonesia sekitar 9 triliun. Namun perputaran uang terbesar (85%) hanya dikuasai oleh segelintir orang saja (35 konglomerat) yang masing-masing memiliki perusahaan raksasa di Indonesia.  Terpuruknya ekonomi Indonesia pada  1998 karena hanya bertumpu pada segelintir pengusaha atau konglomerat.

3.   Data Kemiskinan

Survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada Maret 2016 angka orang miskin di Indonesia mencapai 28,01 juta atau 10,86 persen dari total penduduk negeri.  Kemiskinan di Indonesia berdasarkan data BPS sejak tahun 2007 hingga 2016 ditunjukkan dalam prosentase dari populasi sebagai berikut:  Tahun 2007=16,6% ; 2008=15,4% ; 2009=14,2% ; 2010=13,3% ; 2011=12,5% ; 2012=11,7% ; 2013=11,5% ; 2014=11,0% ; 2015=11,1% ; dan  2016=10,9%.

Data di atas menunjukkan penurunan kemiskinan nasional secara perlahan dan konsisten. Namun beberapa pihak mengkritisi, pemerintah Indonesia menggunakan patokan yang sangat rendah mengenai definisi garis kemiskinan, sehingga yang tampak adalah gambaran yang lebih positif dari kenyataannya. Tahun 2016 pemerintah Indonesia mendefinisikan garis kemiskinan dengan perdapatan per bulannya (per kapita) kurang dari Rp. 325.000,- (atau sekitar USD $25) yang dengan demikian berarti standar hidup sangat rendah, juga buat pengertian orang Indonesia sendiri.

Namun jika kita menggunakan nilai garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia, yang mengklasifikasikan penduduk miskin penghasilannya kurang dari USD $37.5 per bulan (setara Rp. 498.000,- ), maka prosentase data di atas akan kelihatan tidak akurat karena nilainya seperti dinaikkan beberapa persen.

Lebih lanjut lagi, menurut Bank Dunia, kalau kita menghitung angka penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $2 per hari (setara Rp.79.000/bulan) angkanya akan meningkat lebih tajam lagi. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia hidup hampir di bawah garis kemiskinan. Laporan terbaru di media di Indonesia menginformasikan bahwa sekitar seperempat jumlah penduduk Indonesia (sekitar 65 juta jiwa) hidup hanya sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional.



4.   Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI)  merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan sebuah negara dalam upaya membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk). IPM diperkenalkan oleh Badan Program Pembangunan di bawah PBB (United Nations Development Programme/UNDP) pada tahun 1990 dan dipublikasikan secara berkala dalam laporan tahunan Human Development Report (HDR).

Penentuan peringkat IPM dilakukan melalui survei dengan obyek tiga dimensi utama yaitu: Standar Hidup Layak (PDB per kapita), Pendidikan, dan Kesehatan untuk semua negara seluruh dunia.  IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah Negara maju, Negara berkembang atau Negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.

Dalam laporannya, UNDP menempatkan IPM Indonesia masuk kategori sangat rendah di dunia, berada di peringkat 113 dari 188 negara di dunia, dengan nilai sebesar 0,689. Di ASEAN saja Indonesia tertinggal jauh dari Singapura (peringkat 9), Brunai (peringkat 30), dan Malaysia (peringkat 59). Juga masih dibawah Thailand (peringkat 93) dan Filipina (peringkat 98). Dengan peringkat itu Indonesia masih berada dalam kelompok negara menengah, sedangkan negara tetangga Malaysia masuk kategori tinggi.

Bahkan yang memprihatinkan lagi peringkat IPM Indonesia mengalami penurunan dari peringkat 110 (tahun 2014) turun menjadi peringkat 113 (tahun 2015). Penurunan itu disebabkan antara lain oleh faktor kesenjangan sosial yang tinggi, banyaknya kasus korupsi (Indonesia peringkat 5 negara terkorup di dunia), dan sebagainya.

Catatan Akhir

Berdasarkan data diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa tingkat pembangunan kualitas hidup bangsa Indonesia tergolong sangat rendah, dengan nilai IPM sebesar 0,689 yang berada di peringkat 113 dari 188 negara di dunia (berdasarkan penilaian UNDP).   Sedangkan di Asia Tenggara Indonesia menempati urutan kelima, di bawah Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand. Tingkat ketimpangan kekayaan di Indonesia juga termasuk paling buruk di dunia, dimana segelintir (1 %) orang terkaya menguasai  separuh (49,3 %) total asset negara. Dan sekitar seperempat jumlah penduduk Indonesia (sekitar 65 juta jiwa) hidup hanya sedikit saja di atas garis kemiskinan, dengan pendapatan per kapita per bulan kurang dari Rp.798.000 (standar Bank Dunia).


Demikian catatan akhir tentang tingkat kemakmuran bangsa tercinta ini. Ironis, negara dengan sumber kekayaan alam melimpah didukung sumber daya manusia intelektual tinggi namun kualitas hidup bangsanya begitu memprihatinkan.  Kenapa?  Tentu ada masalah dengan bangsa tercinta ini. Semoga kita dapat segera mengidentifikasi dan mengatasi permasalahan nya sehingga tercapai keadilan dan kemakmuran bangsa yang didambakan. Amin